Ketika Rasa Kedaerahan Dipertanyakan

Penulis: Oleh: Gusti Indah, S.IP

Bangka Pos edisi: 23/Nov/2009

harus ada goodwill dari pemerintah daerah untuk memberikan kesempatan bagi putera daerah untuk mengabdi dan berkarya di negerinya sendiri. Tentu saja harus disertai dengan peningkatan kualitas, kapasitas, dan kapabilitas.

KITA memang bertumpah darah satu, hidup di bumi Indonesia tercinta. Namun sebagai manusia yang memiliki identitas diri, tidak dapat dipisahkan pula rasa kedaerahan yang begitu kental hadir dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia. Ritual mudik waktu lebaran dapat dijadikan indikasi. Ribuan bahkan jutaan orang rela berdesak-desakan, menghabiskan seluruh tabungannya selama bertahun-tahun demi kembali pulang ke kampung halaman masing-masing. Kampung halaman ibarat tempat bermanja setelah lelah merantau baik itu karena mencari nafkah maupun menuntut ilmu.


KITA memang bertumpah darah satu, hidup di bumi Indonesia tercinta. Namun sebagai manusia yang memiliki identitas diri, tidak dapat dipisahkan pula rasa kedaerahan yang begitu kental hadir dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia. Ritual mudik waktu lebaran dapat dijadikan indikasi. Ribuan bahkan jutaan orang rela berdesak-desakan, menghabiskan seluruh tabungannya selama bertahun-tahun demi kembali pulang ke kampung halaman masing-masing. Kampung halaman ibarat tempat bermanja setelah lelah merantau baik itu karena mencari nafkah maupun menuntut ilmu.

Merantau karena pendidikan dirasakan juga oleh mereka yang berasal dari desa, dusun, dan seluruh pelosok negeri yang berbondong-bondong untuk mencicipi bangku sekolah dan tak jarang harus mengorbankan segala harta bendanya semisal kebun, tanah, demi melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Tak jarang, cita-cita mereka adalah ketika telah berilmu kelak dapat mengabdikan ilmu mereka di daerah mereka masing-masing.
Seiring tingkat pengangguran yang semakin tinggi di seluruh wilayah Indonesia, tentu harapan sudah jauh dari kenyataan. Persaingan untuk merebut lapangan pekerjaan semakin ketat dan ganas. Mereka yang mengklaim diri mereka sebagai putera daerah seakan melongo ketika pulang ke daerah.

Provinsi Bangka Belitung misalnya, pun tidak ketinggalan menjadi sasaran empuk para eksodus pencari kerja dari berbagai provinsi di Indonesia. Kini, tak jarang dijumpai para penduduk provinsi ini yang berpendidikan terlihat tidak memiliki pekerjaan yang memadai ataupun tidak sesuai dengan disiplin ilmu masing-masing. Karena apa? Karena banyak lahan-lahan pekerjaan telah diisi oleh orang “luar” yang ikut mengadu nasib ke provinsi yang dikenal ramah pada pencari uang ini. Lihatlah disekitar kita sekarang, menjamurnya para imigran dari luar daerah seperti Jawa, Palembang, dan lain-lain. Mereka mengambil alih sektor pertambangan, perdagangan, bahkan sektor informal seperti kuli bangunan, jembatan, serta jalan. Bahkan kini, yang menduduki posisi-posisi strategis di pemerintahan ataupun swasta telah diisi oleh bukan orang Babel.

Jika keadaan seperti dibiarkan terus berlanjut, dikhawatirkan memudarnya peran, fungsi, dan kesempatan sebagai penduduk asli atau putera daerah. jika kita mau jujur, tentu sebagian dari penduduk asli tersebut tidak atau belum mampu jika bersaing secara terbuka (frontal). Apalagi perguruan tinggi di Bangka Belitung ini belumlah semaju, Jawa katakanlah.

Ditengah semaraknya perebutan CPNSD sekarang ini, dengan jumlah pelamar yang membludak dengan angka-angka pelamar yang semakin hari semakin tinggi dan lagi-lagi kelimpungan pelamar dari luar daerah. apalagi saat ini proses seleksi berkas, administrasinya sangatlah mudah, yakni via pos. jadi, asal ia berwarga negara Indonesia hampir dapat dipastikan boleh mengikuti tes di provinsi ini. Dikhawatirkan yang terjadi adalah ketidakproporsionalan komposisi antara yang diterima CPNS antara pendatang dan penduduk asli.

Jika hal ini yang terjadi, merupakan suatu hal yang musykil lama-kelamaan akan terjadi konflik sosial yang bermula pada kecemburuan sosial. Gesekan-gesekan akan sering terjadi, banyak daerah yang telah menjadi contoh, di Sampit, Papua, yang menjadi inti persoalan konflik sosial adalah pada permasalahan akses ekonomi. Kita tidak ingin, pulau Bangka Belitung yang kaya akan timah ini menjadi orang yang terjajah di negerinya sendiri. Ibarat, orang yang punya timah, malah menjadi kuli timah itu sendiri.

Peran Pemerintah

Oleh karena itu, untuk menyelesaikan permasalahan ini sangat dituntut peran pemerintahan daerah. Otonomi daerah yang telah dirintis dengan penuh perjuangan yang memberikan kebebasan dan landasan hukum bagi daerah untuk berbuat yang terbaik bagi daerahnya. Salah satunya mengakomodir sumber daya berpendidikan yang ada di daerahnya. Bukakah tujuan utama dari otonomi daerah adalah mensejahterakan penduduk?

Tiada kata lain sebagai solusinya adalah harus ada goodwill dari pemerintah daerah untuk memberikan kesempatan bagi putera daerah untuk mengabdi dan berkarya di negerinya sendiri. Tentu saja harus disertai dengan peningkatan kualitas, kapasitas, dan kapabilitas. Harus ada pendefinisian ulang tentang putera daerah semisal apakah orang yang bersangkutan telah tinggal selama 10 tahun terakhir di provinsi ini, menghabiskan masa pendidikan dasarnya disini, dan lain-lain. Karena sentuhan aspek kelokalan akan membentuk identitas yang bermuara pada rasa kepemilikan.

Oleh karena itu, diharapkan agar Bangka Belitung tidak hanya maju dari segi pariwisata, pembangunan, ekonomi, dan lain-lain akan tetapi juga peningkatan sumber daya manusia dan mengakomodir sumber daya tersebut.***

0 comments:

Post a Comment

 
 
 

KUNJUNGAN

free counters
Powered By Blogger

detiknews - detiknews

JARINGAN

 
Copyright © KAMUS BABEL