Untuk Saudaraku

5 Mar 2010


mintalah nasehat pada hatimu lalu turuti dan laksanakan.
jadikan itu urusanmu dengan hatimu dan dengan Yang Maha membolak-balikan hati.
itu yang terbaik untuk mu.
Insya Allah

dan tetaplah kamu dalam kesabaran yang tiada batasnya dalam mengajarkan kebenaran.
karena kamu adalah ummat terbaik, yang senantiasa di ridhoi-Nya,
menjadikan syukur dan sabar sebagai tunggangan
ketahuilah…
ada balasan berupa surga yang mengalir di bawahnya sungai sungai dan kehidupan yang kekal lagi abadi dalam naungan cinta-Nya


ya Allah, jika sujudku pada-Mu karena takut akan neraka, maka bakarlah diriku
ya Allah, jika sujudku pada-Mu karena mengharapkan surga, maka tutuplah pintu surga itu
tetapi ya Allah, jika sujudku pada-Mu hanya karena berharap ridho-Mu, maka jangan palingkan wajah-Mu dariku

…didedikasikan untuk saudaraku yang selalu menguatkan diriku dan selalu percaya bahwa apa yang aku lakukan adalah sesuatu yang baik untuk dakwah ini….

Read More......

Lukisan Yang Tak Selesai


Setiap saat, dalam perjalanan hidup yang panjang, kita selalu menemukan satu per satu rahasia kehidupan. Setiap satu rahasia yang kita temukan, menambah pengetahuan kita tentang hidup. Setiap kali pengetahuan kita bertambah, kita menjadi lebih arif dan bijaksana.

Situasi itulah yang terekam dalam salah satu warisan hikmah orang Arab. Mereka mengatakan, sebodoh-bodohnya manusia, umur akan tetap membuatnya lebih bijaksana. Kebijaksanaan terbentuk dari akumulasi informasi yang membentuk pengetahuan kita tentang hidup. Karena seifatnya yang akumulatif, maka kesadaran hidup kita tidak akan pernah bisa terbentuk seketika. Karena tidak terbentuk seketika, maka sikap hidup kita juga berubah dari waktu ke waktu.


Tapi kapankah pengetahuan kita tentang hidup menjadi sempurna dan lengkap? Atau, jika pertanyaannya lebih mendasar lagi, bisakah pengetahuan kita tentang hidup menjadi sempurna dan lengkap? Jawabannya pasti. Tidak. Tidak akan pernah bisa pengetahuan kita tentang hidup ini menjadi sempurna dan lengkap. Salah satu sebabnya karena Allah setiap saat menciptakan makhluk-makhluk baru, baik manusia, hewan dan tumbuhan, atau benda-benda lain di alam raya ini, atau ciptaan-ciptaan yang tak terlihat seperti pikiran-pikiran dan ide-ide baru. “Dan Tuhanmu, menciptakan apa saja yang Dia kehendaki dan memilih dari ciptaan-ciptaan itu.” Setiap satu ciptaan baru tentu melahirkan fakta baru, yang kemudian terintegrasi ke dalam fakta-fakta yang ada sebelumnya, lalu terjadilah semacam rekonfigurasi keseluruhan fakta-fakta itu.

Itulah yang menjelaskan mengapa pengetahuan itu bersifat akumulatif, dan harus diwariskan secara turun temurun agar kita tidak setiap saat harus memulainya dari awal. Itu juga yang menjelaskan mengapa pengetahuan, seperti kata Ibnu Jauzi, harus diikat dengan tulisan; tulisan membuat proses pewarisannya menjadi lebih mudah. Warisan pengetahuan dari peradaban Yunani, Romawi dan Islam secara akumulatif diwarisi oleh Barat sekarang, dan lahirlah wajah peradaban baru seperti yang sekarang kita saksikan.

Karena pengetahuan kita tentang hidup ini tidak akan pernah sempurna dan lengkap, maka kesadaran hidup kita juga tidak akan pernah sempurna dan lengkap. Maka manusia kepada hidup, seperti tiga orang buta yang melukiskan gajah dari sudut yang mereka pegang. Ini adalah lukisan yang tak selesai. Dan takkan pernah selesai.

Sebab Allah sendiri yang mengatakan bahwa: “Tiadalah kamu diberi pengetahuan kecuali hanya sedikit saja.” Maka proses pembelajaran juga tak boleh selesai. Pepatah lama itu rasanya teramat bijak: “Tuntutlah ilmu dari buaian hingga liang lahat.” [Anis Matta, sumber : Serial Pembelajaran, Majalah Tarbawi edisi 214 hal.80]

Read More......

Berkorban Itu Nikmat


Berkorban artinya memberikan sesuatu untuk orang lain, mnegeluarkansesuatu bukan untuk kepentingan sendiri, atau, melakukan sesuatu yang hasilnya bukan untuk diri sendiri. Tetapikenap pengorbanan itu sellau memberi rasa nikmat? Kenapa memeras tenaga, berfikir, mengucurkan keringat, mengeluarkan harta, hingga mneyumbangkan darah dan nyawa untuk kepentingan orang banyak, selalu memunculkan keteduhan yang luar biasa didalam hati
Kenapa, tetap memberi meski dalam kondisi sempit, berusaha menanamkan kebahagiaan untuk orang lain meski dalam kondisi sulit, memberi manfaat pada orang lain meski dalam keadaan memerlukan, selalu melahirkan kenikmatan dalam diri orang yang melakukannya.


Saudaraku…
Pernahkah kita meraskan bagaimana nikmatnya menyisihkan uang untuk berinfaq dan membahagiakan orang lain, dalam kondisi kita juga memerlukannya? Bagaimana indah dan damainya hati saat kita memeras tenaga, menguras pikiran, mengeluarkan apa yang kita punya, untuk kegiatan dakwah ilallah? Bagaiman sejuknya hati, dikala kita bisa memberi sesuatu yang berharga, yang kita miliki, untuk membahagiakan orang lain?
Memberi, secara lahir adalah memberikan sesuatu untuk orang lainyang berarti juga mengurangi sesuatu yang kita miliki. Tapi secara maknaw, memberi sesuatu kepada orang lain itu sama dengan memunculkan ketenangan batin, kenikmatan dan kecerahan tersendiri bagi yang melakukannya.
Kandungan makna inilah yang banyak dilakukan oleh Rosulullah SAW dan para salafushalih. Anas ra pernah mengingatkan bahwa Rasulullah adalah orang tidak pernah diminta sesuatu, ecuali pasti ia memberi.

Saudaraku…
Para salafushalih bahkan lebih menginginkan kesulitan dalam berkorban dan memberi untuk orang laintidak terganggu dengan pemberian dan imbalan.
Imam AL Auzai menolak pemberian murid2nya ynag ingin belajar hadist darinya. “kalian boleh memilih. Jika kalian ingin hadiah ini aku terima, aku tidak akan mengajarkan hadist pada kalian. Jika kalian ingin belajar hadist dariku, maka hadiah ini tidak aku terima” katanya.
Ulama lainnya, Isa bin Yunis, mengeluarkan kata-kata yang lebih tegas lagi dalam hal yang sama. Ia mengatakan “tidak ada makanan dan minuman yang aku terima untuk menyampaikanhadist RosulullahSAW. Meskipun kalian memenuhi masjid ini dengan emas seluruhnya” itu dikatan Isa bin Yunis kepada penguasa yang ingin meberinya hadiah.
Apa rahasia dibalik penolakan itu? Mereka pasti lebih ingin merasakan nikmatnya berkorban, indahnya memberi, kelzatan lelahdan sejuknya hati saat bersusah payah, dalam memberi manfaat banyak orang demi meraih keridhaan Allah SWT.

Berkorban itu nikmat saudaraku…
Seperti pengorbanan total yang telah dilakukan oleh Syaikhul Intifadhah, Syaikh Ahmad Yasin-Semoga Allah SWT menempatkannya dalam jannah-NYa. Bagaimana dengan tubuhnya yang lumpuh, ia tetap memimpinpergerakan dakwah dan perlawanan untuk membebaskan palestina dan melindungi kiblat ertama Masjidil Aqsa yang dirampas oleh Israel. Bagaimana dalam kondisimata yang sulit melihat, tapi mata hati dan pikirannya tidak terlepas darimemperhatikan langkah perjuangan umat islam melawan penjajah zionis Israel.
Bagaimana dalam kondisi yang renta, keluar masuk penjara, tetapi semangatnyaterus berkobar dengan keberanian yang sulit ditandingi. Ia terus menerus menyongsong bahaya kematian yang sulit ditandingi. Ia terus menerus menyongsongbahaya kematian yang mengencamnya setiap detik. Bagaiman ia yang selalu berada di atas kursi roda, tetapi berangkat kemasjid diwaktu fajar untuk menunaikan sholat subuh berjama’ah. Saudaraku berkorban itu nikmat.
Ia telah melewati usia hidupnya dengan tekad jihad yang membaja, keneranian yang tinggi, dan kepasrahan total kepada Allah SWT. Hingga akhirnya ia berhasil mencapai prestasi hidup yang diidamkannya, mati syahid dijalan jihad. Gugur setelah mengisi relung-relung usianya, dengan pengorbanan yang tak pernah berhenti. Betapa indahnya akhir hidup seperti itu.

Saudaraku…
Dr Yusuf Qardhawi, dalam memorandumnya pernah menceritakan sebuah kisah yang sangat menyentuh saat ia ditahan dipenjara perang di Mesir. Seorang ikhwan bernama Hilmi Mukmin dipukul secar membabi buta oleh cambuk dan tongkat. Ia dihukum keras karena menolak diperintahkan untuk memukul muka saudaranya, sesame ikhwan. Ia lebih memilih disiksa oleh algojo penjara dan memelihara kehormatan saudaranya.
Ternyata, meski dihujani pukulan bertubi-tubi, Hilmi Mukmin tak mengeluarkan kata-akat apapun yang emnunjukkan bahwa ia merasakan sakit. Sikap Hilmi Mukmin, benar-benar membuat algojo penjara putus asa hingga ia berhenti kelelahan memukulinya. Para algojo itu lalu memeluk Hilmi Mukmin untuk meminta maaf dan mengobati tubuhnya yang berlumuran darah dan penuh luka.. mereka mengira Hilmi Mukmin adalah seorang wali Allah dan mereka takut menerima pembalasan dari seorang wali Allah. “semua mukim yang bertaqwa adlah wali di antara wali-wali Allah”
Bagaiman Saudara Hilmi Mukmin bukan seorang wali Allah? Bukankah ia telah merelakan balasan Allah dari apa yang ia lakukan untuk membela saudara-saudaranya? “ia telah ridha dengan alquran sebagi prinsip dan manhaj hidupnya. Ia juga telah menjadikan Rasul sebagai pemimpinnya dan jihad sebagaijalannya. Dia telah teguh diatas prinsip itu dan bersabar atas apa yang telah ia terima di jalan allah.” Begitu tulis Qardhawi. “ingatlah sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih hati. (yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka sellau bertakwa. (QS Yunus: 62)

Berkorban itu nikmat saudaraku…
Namun tetaplah perhatikan kondisi dan suasana saat kita melakukan pengorbanan karena “bila di hatimu tidak ada kelezatan yang bisa kamu dapatkan dari amal yang kamu lakukan, maka curigailah hatimu” ujar Ibnu Taimiyah (Madarijus Salikin, 2/68). Maksud nya, Allah pasti membalas amal seseorang didunia dengan rasa nikmat, kecerahan dan ketenangan dalam hati. Tapi bila ada orang yang belum merasakan hal itu, berarti amalnya terkontaminasi.
Saudaraku…
Berkorbanlah dijalan ini. Berkorbanlah dengan mengabaikan keinginan syahwat dan mengutamakan keridhaan Allah. Bersabarlah dalam berkorban. Karena menurut para salafushalih, sesungguhnya kenikmatan pengorbanan itu ada pada seberapa besar kita bisa bertahan dan bersabar dalam melakukan pengorbanan dalam beramal salih. Sedangkan pengorbanan tidak mungkin dilakukan tanpa kesabaran. Umar Bin Khatab lah yang menyebutkan bahwa lezatnya kehidupan itu ada pada kesabaran dalam perkataannya, “aku telah membuktikan bahwa kenikmatan hidup itu ternyata ada pada kesabaran kita dalam berkorban”.


Read More......

Belajar dari Umm Sulaim

4 Mar 2010


Sudah jama' bila orang mengagumi Aisyah karena kecerdasannya, sudah jama' mereka mengagumi Khadijah, Fatimah dan serentet yang lain. Tapi jiwa perempuanku terusik dengan sosok lain, sebuah sosok yang ehm.. romantis,cerdas dan teguh ,setidaknya menurutku.

Nama aslinya dalam sejarah tak banyak terungkap. Ada
yang mengatakan al-Ghuamayda binti Milhan. Ummu Sulaim begitu saja kita sebut beliau.Perempuan hebat itu


1. Perempuan Teguh
Coba simak bagaimana perempuan ini meyakini kebenaran yang datang padanya. Dia ikuti dengan penuh kemantapan, meninggalkan suaminya yang saat itu kafir, Malik. Dibawanya serta anaknya anas bin Malik mengikuti manusia Agung bernama Muhammad, berhijrah. tidak mungkin bila dia seorang permpuan yang labil, penuh keraguan,

diletakkannya kecintaannya pada manusia yang bersamanya dia mereguk cinta kemanusiaannya. Ditukarnya dengan cinta hakiki yang lebih membuatnya bergairah. Tidak mungkin bila dia sorang yang penuh dengan ketergantungan pada manusia. Ah, ummu sulaim. Bukan itu saja. Simak bagaimana dia masih tetap bertahan dengan keteguhannya tatkala seorang saudagar kaya namun kafir di Madinah, abu Thalhah melamarnya. Bukankah dia lagi-lagi tak hendak menukar syahadatnya dengan tujuh kebun kurma milik Abu Thalhah ? bukankah dia hanya berucap; cukuplah keislamanmu sebagai maharku, wahai Abu thalhah!

ah, Ummu sulaim.......mungkinkah itu diucapkan seorang
perempuan yang cinta dunia? padahal ummu sulaim seorang "single mother" saat itu. Bagaimana itu tak menggetarkan seorang laki-laki ?dan keteguhan itulah yang menjadi perantara hidayah bagi Abu Thalhah.

2.Perempuan pendidik Saat hijrah bersama putranya, diserahkannya Anas bin Malik pada Rasulullah, dididik oleh seorang yang dicintai Allah. Disuruhnya sang putra belajar dari manusia agung
itu.dan setiap pulang ditanyainya putranya tentang "pelajaran" yang didapatnya dari Rasulullah hari itu.
Diajarkannya pula pada Anas untuk menjaga rahasia
Rasulullah sebaik-baiknya termasuk pada dirinya. Jadilah Anas bin Malik seorang yang paling banyak meriwayatkan hadits-hadits Rasulullah. Bagaimana itu dapat dilakukan kecuali oleh perempuan-perempuan yang berjiwa pendidik ?

Bukan itu saja. Simak, kira-kira ketika Abu Thalhah masuk Islam, bukankahUmmu Sulaim pasti "lebihfaham" tentang dien? mungkin dalam konteks sekarang Abu Thalhah saat adalah seorang Mu'allaf. Dibimbingnya suaminya dengan keteguhan yang ia miliki. Dengan kehendak Allah ,jadilah Abu Thalhah satu dari 10 orang yang dijamin masuk sorga, menjadi saudagar yang dermawan. Bagaimana hal itu dapat dilakukan kecuali oleh istri-istri yang teguh, cerdas,tidak materialis, dan penuh kesabaran? jadi, bukankah baik untuk belajar
bahwa setiap perempuan muslim harus siap menjadi ummu sulaim-ummu sulaim yang menjadi pendukung kebaikan dunia-akhirat keluarganya? Ah, Ummu sulaim....

3.Perempuan Cerdik nan Romantis
Dalam bayanganku, Ummu sulaim pastilah seorang yang faham betul terhadap posisinya sebagai perempuan. Dia pendidik, dia seorang istri dan ibu yang pendidik. Pasti semua muslim pun tahu bagaimana kisahnya saat mengabarkan kematian putranya pada suaminya (Abu Thalhah). Lagi-lagi, pastilah Ummu Sulaim bukan seorang istri (perempuan) yang reaktif, mudah gugup, cengeng dan penakut. Ummu Sulaim (dalam konteks sekarang) memiliki kecerdasan emosional yang tinggi, psikologisnya matang dan dia faham pula psikologis orang lain. Beliau mampu mengendalikan rasa sedih, mengendalikan ucapannya, tenang, mengambil keputusan yang tidak gegabah, dan beliau siap dengan
resiko dari keputusan yang diambilnya (wajar bukan bila
Abu Thalhah marah yang menganggap istrinya "terlambat" memberi tahu bahwa putranya meninggal?)

Lihat bagaimana Ummu Sulaim melaksanakan kewajibannya terlebih dahulu, memanage perasaannya dengan melayani suaminya dihari pertama pulang perang, melepaskan kepenatan suaminya. Ah, Ummu Sulaim yang romantis dan tenang...! Tidak mungkin perilaku-perilaku terpuji itu dilakukan oleh perempuan-perempuan yang kurang "mengenal
" Tuhannya, yang memaknai cobaan dari Tuhannya sebagai cinta!

Dia tidak langsung mengabarkan hal-hal buruk yang terjadi dirumah begitu suaminya pulang "kerja", seperti yang sering dilakukan kebanyakan istri saat ini, mendamprat dan meraung-raung karena marah pada suaminya ,bahkan sebelum suaminya sempat melepas sepatu ! Waduh!

Dan Rasulullah membenarkan apa yang dilakukan Ummu Sulaim serta mendo'akan beliau dan suaminya agar mendapat keturunan yang banyak dan sholeh
setelah hari itu. Dan ? keturunan mereka selanjutnya adalah pejuang-pejuang Sholeh dijalan Allah. Subhanallah.

Ah!!! seandainya aku dan perempuan-perempuan Muslim bisa meneladaninya. Betapa rumah tangga-rumahtangga kami adalah surga.Betapa kami (jika mau belajar darinya)
adalah perempuan-perempuan yang pendidik, pendidik yang teguh dan romantis. Perempuan yang paham betul perannya sebagai pribadi, istri, ibu.Dari rahim perempuan-perempuan seperti itulah lahir benih-benih peradaban. Ummu Sulaim perempuan yang hanif
dan menghanifkan, teguh dan meneguhkan, cerdas dan
mencerdaskan. Karakternya jelas, memiliki visi dan misi
hidup yang jelas sehingga hidupnya teratur dan yakin terhadap pertolongan Rabbnya Ini dia profil idola perempuan. Semoga ada Ummu Sulaim-Ummu Sulaim hari ini. Mari menjadikan kita salah satunya!

Wallahu a'lam bishshawwab

oleh: Robi'ah al-adawiyah
Mhs.fak Hukum Univ sebelas maret-solo, Koord Forum Belajar perempuan ˜Benih"-solo
d.a FH UNS Jl. Ir Sutami 36 A Kentingan-Jebres Solo 57126

Read More......

Pantun Jilid I


istana maimun ada dimedan.
ada niat untuk bermalam.
ayo kawan kita hafal al-quran.
disela waktu sholat malam

cantik sekali bunga asoka.
duduk santai sambil melamun.
awak ni orang bangka.
sekarang hobi sama pantun.

jangan lupa minum obat.
jika kepala lagi penat.
manusia itu harus sering-sering dinasehat.
agar dia tak tersesat


dari tadi mencari ikan mas.
yang ada cuma ikan nila.
mahasiswa sungguhlah cerdas.
sampai-sampai ikut unjuk rasa.

kemarin-kemarin ke istana maimun.
kita pergi jalan kaki.
sengaja aq membuat pantun.
agar bisa menghibur diri

musim hujan banyak katak.
lagi asyik bermain di kali.
pantun ku harus di cetak.
agar punya pantun pribadi.

cicak merayap hari senin.
berhenti sejenak menangkap nyamuk.
malam ini sangatlah dingin.
buat mata jadi mengantuk.

menutup kepala dengan peci.
pergi beranjak wajah berseri.
jangan takut untuk mengaji.
supaya kawan bisa mengerti.

duduk santai makan nasi.
sambil makan melihat televisi.
g disangka membuat puisi.
sulitnya setengah mati.

indah nian bunga kenari.
jauh sangat dengan buah kemiri.
tertawa sendiri aq disini.
kalau lagi buat puisi.

hujan-hujan pergi ketoko.
untuk membeli sikat gigi.
sudah lama tak nonton film Mojako.
jadi rindu didalam hati.

kalau kawan pergi mengaji.
jangan lupa bawa al-quran.
tunggu kawan saya buat puisi.
kira-kira dua mingguan.

indah sekali menjalin kasih.
bersama dengan saudara.
tiada guna untuk bersedih.
mendingan ikut berpantun saja

tapak langkah menuju roma.
kenapa tidak menuju mekkah.
manusia didunia banyak terlena.
hingga lupa peraturan ALLAH.

hitam sekali kulit buah manggis.
jatuh ke air jadi basah.
banyak dosa orang pun menangis.
segera minta ampunan sama ALLAH.

enak sekali untuk berkata.
tak pernah melihat situasi yang ada.
hidup itu harus bercanda.
agar tak banyak yang curiga.

selalu sadar akan tingkah.
untuk melakukan pembenahan diri.
banyak cara untuk mendapat ampunan ALLAH.
salah satunya pergi mengaji.

berbicara cantik dibanyak muka.
selalu gugup untuk pemula.
sudah banyak orang bertanya.
apa peran anda sebagai generasi bangsa.

sungai musi sangatlah indah.
untuk selalu disebrangi.
jadikan aq selalu istiqomah.
untuk mencapai ridhoMu ya rabbi.

banyak sekali umat manusia.
lagi asyik dengan dunia.
kalau tidak ketemu dosen tidak apa-apa.
yang penting terus berusaha.

kemarin janjian untuk ketemu.
untuk mencari waktu yang tepat
.kalau di jogja tidak semua begitu.
kebetulan tadi ada rapat mendadak.

pergi makan bersama datuk.
kita makan empek-empek kapal selam.
ini mata sudah mengantuk.
segera tidur,persiapan sholat malam.

apalah arti sebuah obat.
kalau tidak ada penyakit yang di obati.
apalah arti sebuah niat.
kalau tidak diluruskan dalam hati.

naik gunung jalan berliku.
tidak mudah hidup didunia.
hanya kepada ALLAH kita mengadu.
agar dijauhkan dari api neraka.

sudah lama tidak mengaji.
jadi lupa akan materi.
mari kawan kita kembali.
agar jadi generasi rabbani.

naik gunung jalan mendaki.
nampak puncak bahagia hati.
ayo kawan kita berbenah diri.
untuk menuju ridho ilahi.

banyak angka sulit dihitung.
karena banyak yang berkata.
jangan susah jangan bingung.
sholat malam patut di coba.

oleh : Meki Pranata

Read More......

Para Pencipta Kemakmuran



Lelaki kaya raya itu menangis tersedu-sedu, selama berhari-hari, menjelang kematiannya. Bukan karena ia takut mati. Atau sedih karena harus meninggalkan kekayaanya yang melimpah ruah. Ia justru sedih karena tak mengerti bagaimana menafsirkan kekayaan dan kemakmurannya

Begini ia bertanya pada dirinya sendiri: ”Ada sahabat Rasulullah SAW yang jauh lebih baik dariku, yaitu Mus’ab bin Umair, yang ketika wafat tidak meninggalkan harta sedikitpun juga. Ia bahkan tidak punya cukup kain kafan untuk menutupi jasadnya, hingga jika kepalanya ditutup maka kakinya terbuka, jika kakinya ditutup maka kepalanya terbuka. Lalu apa artinya bahwa mendapatkan kekayaan yang melimpah ruah ini sementara mereka tidak?? Tidakkah kekayaan ini malah akan mengantarkan aku ke neraka??"

Lelaki kaya itu, Abdurrahman bin Auf, mengulang-ulang pertanyaan itu, sembari menangis, sampai ia menghembuskan nafasnya yang terakhir


Kebanyakan kita belajar makna zuhud dari cerita itu. Tapi begitu kita menarik konteks di mana Abdurrahman bin Auf hidup dan bekerja, segera saja kita temukan nama beliau di deretan para sahabat Nabi yang ikut berjihad di semua medan tempur sepanjang hidupnya, ahli ibadah yang tidak kenal lelah, penderma yang tidak pernah berhenti berderma, yang pertama kali mengundurkan diri dari pencalonannya sebagai khalifah setelah Umar bin Khattab terbunuh. Semua makna zuhud ada di situ, persis di jantung kepribadiannya. Ia seharusnya tidak perlu menangis seperti itu jika semua makna zuhud itu kita nisbatkan kepada dirinya

Tapi begitulah mereka. Mereka mewariskan pelajaran lain yang belum kita pahami. Abdurrahman bin Auf, satu diantara sekian nama besar pengusaha dari kalangan sahabat Rasulullah SAW, yang bekerja keras menciptakan kemakmuran dan kekayaan di tengah masyarakat Muslim yang baru berkembang menjadi pemimpin peradaban baru. Pembebasan-pembebasan yang terjadi sejak masa Abu Bakar hingga tujuh tahun pertama masa pemerintahan Usman bin Affan telah memberikan kemelimpahan bagi kaum Muslimin. Mereka mendapatkan wilayah-wilayah baru dengan segala isinya, yang salah satu artinya adalah pertambahan dan penggandaan pada pendapatan pemerintah, baik pada sumber yang sebelumnya sudah ada seperti zakat dan ghanimah, atau dari sumber yang baru seperti jizyah, kharaj dan usyur

Itu menjelaskan tafsir utama atas kemakmuran di era itu: bahwa pada mulanya kemakmuran itu diciptakan oleh pembebasan-pembebasan besar. Kelak sejarah mencatat kebenaran fakta ini: bahwa bangsa-bangsa yang makmur selalu mencatat sejarah kemakmurannya dari kemenangan-kemenangan besar dalam perang-perang besar. Kemakmuran Eropa dan Amerika, misalnya, adalah hasil kemenangan dalam perang dunia pertama dan kedua serta perang dingin.

Tapi itu bukan tafsir tunggal atas kemakmuran. Pembebasan-pembebasan besar memberikan kemelimpahan pada sumber daya untuk menciptakan kemakmuran. Tapi hanya bangsa yang memiliki pengusaha-pengusaha besar yang bisa memanfaatkan dan mengkapitalisasi sumber daya baru itu menjadi kekayaan yang melimpah. Begitulah kemakmuran terjadi di era itu: pembebasan-pembebasan besar memberi tambahan sumber daya, tapi di tangan dingin para pengusaha tangguh, seperti Abdurrahman bin Auf dan Usman bin Affan, sumber daya itu menjadi kekayaan yang melimpah. Lihatlah misalnya, bagaimana Usman bin Affan menghilangkan dominasi pengusaha Yahudi di Madinah. Mereka tidaklah lebih besar dari para pengusaha lain. Tapi mereka adalah pengusaha pembelajar. Dan diantara yang mereka pelajari adalah bagaimana mengimbangi ketangguhan para mujahidin yang terus-menerus membebaskan wilayah-wilayah baru sembari mengimbangi pengusaha-pengusaha setempat yang sebelumnya mendominasi wilayah itu. Amerika mungkin punya jenderal Mc Arthur yang menaklukkan kawasan pasifik dalam perang dunia kedua, tapi juga punya Bill Gate yang mengisi komputer-komputer kita dengan softwarenya atau Warren Buffet yang mengisi lantai bursa kita dengan investasi-investasinya. Begitu juga era itu: ada pembebas sekaliber Khalid bin Walid, tapi juga ada pengusaha tangguh seperti Abdurrahman bin Auf dan Usman bin Affan

Jadi tangis Abdurrahman bin Auf itu adalah pertanyaan yang rendah hati: bisakah perannya sebagai pengusaha mengimbangi peran para mujahidin di mata Allah?? [Anis Matta, sumber : Serial Pembelajaran, Majalah Tarbawi edisi 212 hal.78-79]

Read More......

Banyak Yang Hilang Dari Diri Kita


"Kata-kata itu, bisa mati," tulis Sayyid Qutb. "Kata-kata juga akan menjadi beku, meskipun ditulis dengan lirik yang indah atau semangat. Kata-kata akan menjadi seperti itu bila tidak muncul dari hati orang yang kuat meyakini apa yang dikatakannya. Dan seseorang mustahil memiliki keyakinan kuat terhadap apa yang dikatakannya, kecuali jika ia menerjemahkan apa yang ia katakan dalam dirinya sendiri, lalu menjadi visualisasi nyata apa yang ia katakan," lanjut Sayyid Qutb dalam karya monumentalnya Fii Zilaalil Qur'aan.

Saudaraku,
Menjadi penerjemah apa yang dikatakan. Menjadi bukti nyata apa yang diucapkan. Betapa sulitnya. Tapi ini bukan sekedar anjuran. Bukan hanya agar suatu ucapan menjadi berbobot nilai pengaruhnya karena tanpa dipraktikkan, kata-kata menjadi kering, lemah, ringan tak berbobot, seperti yang disinyalir oleh Syayyid Qutb rahimahullah tadi.


Lebih dari itu semua, merupakan perintah Allah SWT. Firman Allah SWT yang tegas menyindir soal ini ada pada surat Al-Baqarah ayat 44 yang artinya, "Apakah kalian memerintahkan manusia untuk melakukan kebaktian, sedangkan kalian melupakan diri kalian sendiri dan kalian membaca Al-Kitab. Apakah kalian tidak berakal?"

Membandingkan antara kita hari ini dan masa-masa lalu, akan terasa bahwa ada banyak hal yang hilang dari diri kita. Kita dahulu, yang mungkin baru memiliki ilmu dan pemahaman yang sedikit, tapi banyak beramal dan mempraktikkan ilmu yang sedikit itu. Kita dahulu, yang barangkali belum banyak membaca dan mendapatkan keterangan tentang Allah, tentang Rasulullah SAW, tentang Islam, tapi terasa begitu kuat keyakinan dan banyak amal shalih yang dikerjakan. Kita dahulu, yang belum banyak mendengarkan nasihat, diskusi, arahan para guru dalam menjalankan agama, tapi seperti merasakan kedamaian karena kita melakukan apa yang kita ketahui itu. Meskipun sedikit.

Saudaraku,
Banyak yang hilang dari diri kita…

Saudaraku,
Dahulu, sahabat Ali radhiallahu anhu pernah mengatakan bahwa kelak di akhir zaman akan terjadi sebuah fitnah. Antara lain, ia menyebutkan, "…Ketika seseorang mempelajari ilmu agama bukan untuk diamalkan," itulah ciri fitnah besar yang akan terjadi di akhir zaman. Sahabat lainnya, Ibnu Mas'ud radhiallahu anhu juga pernah menyinggung hal ini dalam perkataannya, "Belajarlah kalian, dan bila kalian sudah mendapatkan ilmu, maka laksanakanlah ilmu itu." Ilmu dan amal, dua sisi mata uang yang tak mungkin dipisahkan. Tapi kita, sepertinya, kini lebih berilmu namun miskin dalam amal…

Saudaraku,
Perhatikanlah, apa saja yang hilang dari diri kita selama ini…?
Barangkali kita termasuk dalam ungkapan Al Hasan Al Bashri rahimahullah ini. Ia mengatakan, "Aku pernah bertemu dengan suatu kaum yang mereka dahulunya adalah orang-orang yang memerintahkan yang makruf dan paling melaksanakan apa yang diserukannya. Mereka juga orang yang paling melarang kemungkaran dan mereka sekaligus orang yang paling menjauhi kemungkaran itu. Tapi kini kita ada di tengah kaum yang memerintahkan pada yang makruf sementara mereka adalah orang yang paling jauh dari yang diserukan. Dan paling banyak melarang kemungkaran, sedangkan mereka adalah orang yang paling dekat melaksanakan kemungkaran itu. Bagaimana kita bisa hidup dengan orang yang seperti mereka?"

Saudaraku,
Berhentilah sejenak di sini. Duduk dan merenungkan untuk memikirkan apa yang kita bicarakan ini. Perhatikanlah apa yang dikatakan lebih lanjut oleh Sayyid Qutb rahimahullah, "Sesungguhnya iman yang benar adalah ketika ia kokoh di dalam hati dan terlihat bekasnya dalam perilaku. Islam adalah akidah yang bergerak dinamis dan tidak membawa yang negatif. Akidah Islam itu ada dalam alam perasaan dan bergerak hidup mewujudkan indikasinya dalam sikap luar, terterjemah dalam gerak di alam realitas."

Saudaraku,
Jika banyak yang baik-baik, yang hilang dari diri kita, mari memuhasabahi diri sebelum beramal, melihat apa yang menjadi orientasi dan tujuan amal-amal kita selama ini. Jika kita memeriksa niat sebelum beramal, berarti kita sudah membenahi sesuatu yang masih bersifat lintasan hati. Dan itu akan lebih mudah melakukannya. Karena asal muasal suatu pekerjaan itu adalah lintasan. Lintasan hati, dan keinginan hati itu bisa menjadi kiat sampai kemudian menjadi waswas. Dari waswas muncul dorongan untuk dilahirkan dalam bentuk tindakan. Imam Ghazali mengatakan, "Jalan untuk membersihkan jiwa adalah dengan membiasakan pekerjaan yang muncul dari jiwa yang bersih secara sempurna."

Saudaraku,
Jika kita bicara, maka kita sebenarnya diajak bicara oleh diri kita sendiri melalui kata-kata itu. Kata-kata yang kita keluarkan, sebenarnya pertama kali ditujukan pada diri sendiri, sebelum orang lain. Jika kita mendapatkan ilmu, kitalah orang pertama yang harus melakukannya. Dengan perenungan lebih jauh, sahabat Rasulullah SAW yang terkenal dengan sikap zuhudnya, Abu Darda radhiallahu anhu mengatakan, "Aku paling takut kepada Rabbku di hari kiamat bila Dia memanggilku di depan seluruh makhluk dan mengatakan, "Ya Uwaimar." Aku menjawab, "Ya Rabbku…" Lalu Allah mengatakan, "Apakah engkau mengerjakan apa yang sudah engkau ketahui?" Seorang ulama, Syaikh Jibrin yang baru saja wafat meningalkan tulisan begitu menyentuh tentang ini. Ia mengutip sebuah hadits qudsi, bahwa Allah SWT berfirman, "Idzaa ashanii man ya'rifunii, salath tu alaihi man laa ya'rifunii…" Jika orang yang mengenal-Ku melakukan maksiat kepada-Ku, Aku kuasakan dia kepada orang yang tidak mengenal-Ku…"

Saudaraku,
Banyak hal baik yang telah hilang dari diri kita. [M. Lili Nur Aulia, sumber: Tarbawi edisi 209 Th.11]

Read More......

Al-Barra’ bin Malik Al-Anshari


Rambutnya kusut dan berdebu, tubuhnya kurus dan tulang-tulang menonjol, kerempeng dan kulitnya cukup hitam. Orang memandang leceh kepadanya dan segan bertemu dengan dia. Tetapi walaupun begitu, dia telah membuktikan keberaniannya sanggup menewaskan ratusan orang musyrik dalam beberapa kali perang tanding satu lawan satu. Belum termasuk yang ditewaskannya dalam perang berkecamuk.

Sesungguhnya dia pemberani yang pantang mundur. Khalifah umar bin Khattab pernah menulis surat kepada para panglima, supaya tidak mengangkat Al-Barra’ bin Malik menjadi komandan pasukan, karena dikhawatirkan dengan keberaniannya yang luar biasa itu akan membahayakan bagi tentara muslimin.


Al-Barra’ bin Malik adalah saudara kandung Anas bin Malik, khadam Rasulullah. Seandainya diceritakan kisah kepahlawanan Al-Barra’ semuanya, sudah tentu akan menghabiskan halaman yang banyak. Karena itu kita cukupkan sebuah kisah saja, mudah-mudahan dapat memberikan gambaran menyeluruh tentang kisah kepahlawanannya.

Kisah ini terjadi tidak berapa lama sesudah Rasulullah wafat, yaitu ketika beberapa kabilah Arab murtad dari agama Islam secara beramai-ramai, sebagaimana tadinya mereka masuk Islam beramai-ramai. Akhirnya tinggal dalam Islam hanyalah para penduduk Makkah, Madinah, Thaif, dan beberapa kelompok yang terpencar-pencar di sana sini. Mereka orang-orang yang teguh dan mantap imannya.

Khalifah Abu Bakar menghendaki agar ancaman terhadap eksistensi Islam ditanggulangi sampai tuntas. Maka dibentuknya sebelas pasukan tentara, terdiri dari kaum Muhajirin dan kaum Anshar. Lalu dikirimnya ke seluruh jazirah Arab, untuk mengembalikan orang-orang yang murtad dan atau memerangi siapa yang membangkang.

Kelompok orang-orang murtad yang paling jahat dan besar ialah kelompok Banu Hanifah yang dipimpin Musailamah Al-Kadzdzab. Jumlah mereka tak kurang dari empat puluh ribu orang, terdiri dari prajurit-prajurit tangguh dan berpengalaman perang. Kebanyakan mereka murtad dan mengakui Musailamah karena fanatik kesukuan, bukan karena percaya kepadan kenabian Musailamah.

Sebagian mereka berkata, “Saya tahu Musailamah itu bohong dan Muhammadlah Nabi yang benar. Tetapi kebohongan Bani Rabi’ah (Musailamah) lebih saya sukai daripada kebenaran Bani Mudhar (Muhammad).”

Tentara muslimin yang pertama-tama datang menyerang Musailamah dipimpin oleh Ikrimah bin Abu Jahal. Pasukan Ikrimah dapat dikalahkan tentara Musailamah, sehingga lari kucar-kacir dan Ikrimah sendiri tewas sebagai syahid.

Sesudah itu dikirim oleh Khalifah Abu Bakar pasukan kedua di bawah pimpinan Khalid bin Walid. Dalam pasukan Khalid ini terdapat pahlawan-pahlawan Anshar dan Muhajirin. Di antara mereka terdapat Al-Barra’ bin Malik Al-Anshary, dan beberapa pendekar muslim lainnya.

Pasukan Khalid bertemu dengan pasukan Musailamah di Yamamah. Pertempuran segera terjadi tak dapat dihindari. Belum lama kedua pasukan itu bertempur, ternyata pasukan Musailamah lebih unggul. Mereka dapat mendesak mundur pasukan Khalid dari posisinya, hingga pasukan Musailamah berhasil menyerbu sampai ke perkemahan Khalid bin Walid dan menghancurkan perkemahan itu. Bahkan istri Khalid nyaris terbunuh ketika itu, seandainya tidak sempat diselamatkan pengawal.

Melihat situasi yang tidak menguntungkan, Khalid melompat ke tengah-tengah pasukannya dan mengubah susunan pasukan. Kaum Muhajirin, kaum Ansar dan prajurit yang terdiri dari anak-anak desa dipisah-pisahkannya menurut kelompok masing-masing. Tiap kelompok dikepalai salah seorang dari kelompoknya sendiri. Dengan begitu Khalid dapat mengetahui kesanggupan masing-masing kelompok, serta mengontrol di mana letak kelemahan tentara muslimin.

Kini kedua pasukan baku-hantam dan baku tebas dengan sengit dan mengerikan. Kaum muslimin memperlihatkan kemampuan yang belum diperlihatkan sebelumnya. Tentara Musailamah bertahan di medan tempur bagaikan gunung, kokoh dan kuat. Mereka tidak peduli walaupun kurban banyak jatuh di pihak mereka. Kaum muslimin memperlihatkan keberanian luar biasa, yang kalau dihitung-hitung sesungguhnya merupakan peristiwa yang sangat mengerikan.

Lihatlah Tsabit bin Qais yang memanggul bendera Anshar. Dia melilit tubuhnya dengan kain kafan, kemudian digalinya lobang setinggi betis. Lalu dia turun ke dalam lobang itu. Dia bertahan di lubang itu mengibarkan bendera kaumnya sampai tewas sebagai syuhada.

Zaid bin Khattab, saudara Umar bin Khattab, memanggil kaum muslimin, “Wahai kaum muslimin, bertempurlah dengan gigih! Tewaskan musuh-musuh kalian dan terus maju! Wahai manusia! Demi Allah! Saya tidak akan berbicara lagi sesudah ini sampai Musailamah dihancurkan, atau saya syahid menemui Allah. Saya akan diperlihatkan kepada Allah bukti bahwa saya betul-betul syahid.” Kemudian dia maju menyerang musuh, bertempur sampai tewas sebagai syuhada.

Lain pula dengan Salim, maula Abu Hudzaifah, pembawa bendera kaum Muhajirin. Kaumnya khawatir dia lemah atau takut. Kata mereka kepada Salim, “Kami sangsi dengan keberanian Anda menghadapi musuh.”

Jawab Salim, “Jika kalian sangsi terhadap saya, percuma saya menjadi pembawa bendera Al-Qur’an” Kemudian dia menyerbu musuh-musuh Allah dengan berani sehingga ia tewas pula sebagai syuhada.

Tetapi kepahlawanan mereka belum seberapa dibandingkan dengan kepahlawanan Al-Barra’ bin Malik. Ketika Khalid melihat api pertempuran semakin berkobar, dia berpaling kepada Al-Barra’. Kata Khalid memerintah, “Kerahkan mereka, hai pemuda Anshar!”

Al-Barra’ berteriak memanggil kaum Anshar, “Hai kaum Anshar! Jangan kalian berpikir-pikir hendak kembali ke Madinah. Tidak ada lag! Madinah sesudah hari ini. Ingatlah kepada Allah semata-mata kemudian ingat surga”. Sesudah begitu, dia maju mendesak kaum musyrikin, diikuti prajurit Anshar. Pedangnya menari lincah menebas kuduk musuh-musuh Allah.

Melihat prajuritnya banyak berguguran, Musailamah dan kawan-kawan menjadi gentar. Karena itu mereka lari berlindung dalam sebuah perkebunan. Kebun itu kemudian terkenal dalam sejarah dengan nama “kebun maut”, karena banyaknya manusia yang terbunuh dalam kebun itu.

Kebun maut itu adalah tempat lari terakhir bagi Musailamah dan tentaranya. Pagarnya tinggi dan kokoh. Musailamah dan puluhan ribu tentaranya mengunci pintu rapat-rapat dari dalam. Mereka bertahan dalam kebun itu seolah-olah dalam benteng. Dari puncak pagar mereka menghujani kaum muslimin yang berusaha masuk kebun dengan panah.

Kata Al-Barra’, “Angkat saya dengan gala dan lindungi saya dengan perisai dari panah-panah musuh. Sesudah itu lemparkan saya ke dalam kebun di dekat pintu. Biarlah saya syahid untuk membukakan pintu bagi kalian.”

Dalam sekejap Al-Barra’ sudah berada di atas sebatang gala. Tubuhnya enteng, karena awaknya kurus kecil. Sepuluh orang pemanah melemparkannya ke dalam kebun maut. Al-Barra’ meluncur di atas ribuan tentara Musailamah. Kehadirannya menyebabkan mereka ngeri bagaikan disambar petir di siang bolong. Sementara itu Al-Barra’ sudah berhasil memukul tewas sepuluh orang penjaga pintu. Al-Barra’ segera membukakan pintu bagi kaum muslimin. Namun begitu, Al-Barra’ tak luput dari sentuhan pedang dan goresan panah yang menyebabkan sembilan buah luka menganga di tubuhnya.

Kaum muslimin tumpah ruah menyerbu ke dalam kebun maut. Pedang mereka berkelebat di kuduk orang-orang murtad. Lebih kurang dua puluh ribu orang korban yang tewas di pihak mereka. Termasuk pemimpin mereka, Musailamah Al-Kadzdzab.

Al-Barra’ segera dinaikkan kawan-kawannya ke atas kendaraan untuk diobati. Sebulan lamanya Khalid merawat dan mengobati Al-Barra’ sampai Allah menyembuhkan luka-lukanya. Dia memuji dan bersyukur kepada Allah yang telah memberi kemenangan bagi kaum muslimin.

Al-Barra’ bin Malik Al-Anshari sangat merindukan kematian sebagai syahid. Dia kecewa karena gagal memperolehnya di kebun maut. Maka sejak itu dia selalu menceburkan diri dalam peperangan untuk mencapai cita-cita besarnya, dan karena rindu hendak segera bertemu dengan nabinya yang mulia.

Ketika perang penaklukan kota Tustar di Persia, tentara Persia berlindung dalam sebuah puri. Puri itu merupakan benteng yang kokoh bagi tentara Persia. Temboknya tinggi, besar, pintu-pintunya kuat dan kokoh. Kaum muslimin mengepung Puri dengan ketat. Setelah mereka terkepung begitu lama, akhirnya mereka mendapat kesulitan. Mereka mengurkan kait-kait besi yang panas membara dari puncak pilar untuk mengait tentara kaum muslimin. Tentara muslimin yang terkait mereka angkat ke atas, adakalanya langsung tewas atau pingsan.

Mujur bagi Anas bin Malik, dia terkait oleh pengait berapi itu. Kemudian Al-Barra’ saudaranya melompat ke dinding benteng dan melepaskan pengait dari tubuh saudaranya. Tangan Al-Barra’ terbakar dan melepuh memegang pengait yang panas membara. Tetapi dia tidak peduli asal saudaranya lepas dari pengait itu. Kemudian dia berhasil turun dengan jari-jari tangannya tanpa daging. Dalam perang Tustar ini dia mendoa kepada Allah semoga diberi rezeki sebagai syuhada. Allah memperkenankan doanya. Dia syahid menemui Allah dengan senyum bahagia.

Semoga Allah menjadikan wajahnya gemerlapan di surga, dan menyejukkan pandangannya menemani nabinya, Muhammad SAW dalam ridha-Nya. Amiin. [sumber: Kepahlawanan Generasi Shahabat Rasulullah SAW terjemah Suwarun min Hayaatis Shahabat]

Read More......

Umair bin Wahab Al-Jumahy

3 Mar 2010


Umair bin Wahab Al-Jumahy lari dari peperangan Badar untuk menyelamatkan diri sendiri. Padahal bapaknya, Wahab, menjadi tawanan kaum muslimin.
Umair sangat khawatir bapaknya akan mendapat siksaan dari kaum muslimin, karena dosa-dosa dan kejahatanyya menyakiti Rasulullah SAW. Bahkan terhadap para sahabat Rasulullah SAW, dia tidak segan-segan bertindak kejam. Katanya untuk contoh bagi yang lain supaya mereka jera, dan kembali kepada agama nenek moyang mereka.
Pada suatu hari Umair melakukan thawaf di Ka’bah dan memohon berkat kepada berhala-berhala pujaannya. Di sana dia bertemu dengan Shafwan bin Umayyah sedang duduk di pinggir Hijr. Umair mendatangi Shafwan sambil memberi salam.


“Im shabahan, ya sayyida Quraisy! (selamat pagi, pemimpin Quraisy!)” kata Umair memberi hormat.
“Im shobahan, ya Ibnu Wahab!” (selamat pagi anak Pak Wahab, jawab Shafwan. “Mari duduk di sini berbincang-bincang,” lanjut Shafwan mengajak Umair duduk bersama.
Umair duduk dekat Shafwan bin Umayyah. Keduanya segera terlibat dalam suatu percakapan serius mengenai perang Badar, tentang kekalahan besar yang mereka alami dalam perang tersebut dan tentang jumlah orang Quraisy yang ditawan kaum muslimin. Mereka sangat sakit hati karena beberapa pembesar Quraisy tewas. Bangkai mereka yang tewas itu dikuburkan kaum muslimin dalam kuburan kolektif di medan tempur Badar.
Shafwan bin Umayyah menarik nafas panjang dan mengeluh, “Tidak! Demi Allah...! Kita harus mampu membalas!” kata Shafwan.
“Demi Allah. Itu betul!” ucap Umair. Umair diam sebentar, kemudian dia melanjutkan bicaranya, “Demi Tuhan Ka’bah! Seandainya saya tidak banyak hutang yang harus dilunasi, dan tidak banyak keluarga yang saya khawatirkan akan tersia-sia kalau aku meninggal, sungguh aku akan menemui Muhammad lalu kubunuh dia. Kemudian saya basmi agamanya dan saya hentikan segala kejahatannya.”
Tiba-tiba Umair menjadi rendah seperti orang ketakutan.
“Dengan adanya bapakku, Wahab, dalam tawanan mereka, apakah kepergianku ke Yatsrib tidak mencurigakan mereka?” kata Umair dengan nada bertanya kepada Shafwan.
Shafwan yang berpikiran tajam dapat menangkap inti pembicaraan Umair bin Wahab. Untuk tidak melepaskan kesempatan yang baik ini, dia berpaling kepada Umair dan berkata , “Hai Umair! Biarlah hutang-hutangmu menjadi tanggunganku seluruhnya. Aku akan melunasinya bila engkau berhasil membunuh Muhammad. Keluargamu akan kugabung dengan keluargaku, selama aku masih hidup. Hartaku cukup banyak untuk hidup senang bersama mereka semuanya!”
Kata Umair, “Rahasiakanlah pembicaraan kita ini. Jangan sampai ada seorang jua pun yang mengetahuinya!”
“Tentu! Percayalah kepadaku!” kata Shafwan.
Umair meninggalkan masjid membawa dendam kesumat terhadap Nabi Muhammad SAW. Disiapkannya segala perlengkapan yang diperlukan untuk melaksanakan niat jahatnya terhadap Rasulullah. Dia tidak khawatir lagi akan dicurigai orang dalam perjalanan, karena famili orang-orang tertawan banyak yang sudah pulang pergi ke Yatsrib untuk menengok atau menebus mereka. Umair mengasah pedangnya tajam-tajam dan mengolesinya dengan racun. Kemudian Umair meminta kendaraan yang telah disediakan Shafwan untuknya.
Setibanya di Madinah, dia langsung ke masjid mencari Rasulullah, dan ontanya ditambatkannya dekat pintu masjid, lalu dia turun.
Ketika itu Umar bin Khattab RA sedang duduk dengan beberapa orang shahabat Rasulullah dekat pintu masjid. Mereka bercakap-cakap soal perang Badar, tentang orang-orang Quraisy yang tertawan dan yang terbunuh, tentang kepahalawanan kaum muslimin, Muhajirin maupun Anshar. Mereka tidak lupa pula mengingat pertolongan Allah SWT yang telah memenangkan kaum muslimin, dan malapetaka yang menimpa musuh-musuh Allah.
Tatkala Umar menoleh ke halaman, tiba-tiba dia melihat Umair bin Wahab Al-Jumahy turun dari kendaraan dan meunju masjid dengan pedang terhunus.
Umar bin Khattab tersentak bangun dari duduknya, sambil memandang ke arah Umair, ia berkata, “Ada anjing...! Si Umair bin Wahab musuh Allah! Dia datang ke sini pasti untuk maksud jahat. Kaum musyrikin Makkah bangkit menyerang kita. Dia intel Quraisy yang emmata-matai kita sebelum terjadi perang Badar. Tangkap dia...! bawa ke hadapan Rasulullah! Kawal dia dengan ketat! Hati-hati penjahat keji ini jangan sampai lolos”, perintah Umar kepada shahabat-shahabatnya, sembari lekas-lekas memberitahu kepada Rasulullah SAW.
“Ya Rasulullah! Umair bin Wahab, musuh Allah, datang. Dia menghunus pedang. Aku yakin dia pasti bermaksud jahat,” kata Umar.
“Bawalah dia kemari, hai Umar!” perintah Rasulullah.
Umar Al-Faruq mendatangi Umair bin Wahab. Dipegangnya leher baju Umair. Dicengkeramnya kuduk Umair yang menyandang pedang. Lalu dibawanya ke hadapan Rasulullah SAW.
Setelah Rasulullah melihat Umair demikian, beliau bersabda, “Lepaskan dia, hai Umar!”
Umar melepaskan cengkeramannya.
Kemudian Rasulullah bersabda pula, “Mundurlah engkau, hai Umar!”
Umar mundur ke belakang Umair bin Wahab. Rasulullah berkata kepada Umair. “Mendekatlah ke sini, hai Umair!”
Umair menghampiri Rasulullah dan berkata, “An ‘im shabahan!” (selamat pagi).
Mendengar ucapan itu, Rasulullah bersabda, “Kami telah dimuliakan Allah dengan cara penghormatan yang lebih baik daripada cara penghormatan engkau, hai Umair. Kami dimuliakan Allah dengan cara mengucapkan “salam” Begitulah cara penghormatan ahli-ahli surga.”
Kata Umair, “Demi Allah! Kami sudah lama dengan cara penghormatan kami, sedangkan caramu itu datang belakangan.”
“Apa maksudmu datang kemari ya Umair?” tanya Rasulullah SAW.
“Saya datang untuk membebaskan tawanan yang engkau tawan. Karena itu bersikap baiklah engkau kepadaku dengan soal itu,” jawab Umair galak.
“Tetapi mengapa harus menghunus pedang?” tanya Rasulullah. “Tidak baik membawa-bawa pedang. Apakah engkau dendam kepada kami karena kekalahanmu dalam peperangan Badar? Bicaralah jujur! Apa sebenarnya maksudmu datang kemari hai Umair!” kata Rasulullah mendesak. Jawab Umair “Sungguh, aku datang karena masalah tawanan, khususnya bapakku.”
Kata Rasulullah, “bukankah engkau pernah duduk berdua dengan Shafwan bin Umayyah dekat Hijr, membicarakan mayat-mayat orang-orang Quraisy yang dilemparkan ke dalam sumur. Kemudian engkau berkata kepada Shafwan, seandainya aku tidak banyak hutang dan keluarga yang kutinggalkan, niscaya aku pergi membunuh Muhammad! Lalu Shafwan bin Umayyah berjanji kepadamu akan melunasi semua hutang-hutangmu dan akan menjamin hidup keluargamu, asal kamu mau membunuhku. Demi Allah! Engkau tidak akan sempat melaksanakan maksud jahatmua, karena Allah selalu melindungiku!”
Umair bin Wahab bingung karena rahasianya dibuka lebar-lebar oleh Rasulullah dengan tepat dan mendetail. Padahal dia yakin seyakin-yakinnya, tidak ada orang yang mengetahui rahasia itu selain dia sendiri dan Shafwan bin Umayyah. Dalam kebingungan itu hampir saja dia mengucapkan syahadat.
Kata Umair, “Kami memang tidak mempercayai apa yang engkau katakan berita dari langit, dan yang engkau katakan wahyu. Tetapi pembicaraan dan perjanjianku dengan Shafwan, aku yakin benar tidak ada yang mendengar dan mengetahui, selain aku dan Shafwan berdua. Demi Allah! Sekarang aku yakin benar rahasia itu telah disampaikan Allah kepada engkau. Segala puji bagi Allah yang telah memberi aku jalan, sehingga aku dapat hidayah untuk masuk Islam.”
Kemudian Umair mengucapkan dua kalimat syahadat: “Asyhadu an laa ilaaha illallaah, wa asyhadu anna Muhammadan Rasuulullah”
Sesudah itu Rasulullah memerintahkan kepada para shahabat, “Ajarkan Al-Qur’an kepada saudara kalian ini; terangkan kepadanya ajaran-ajaran Islam, dan bebaskan tawanan yang dimintanya!”
Kaum muslimin sangat gembira dengan masuknya Umair bin Wahab ke dalam Islam. Sehingga Umar bin Khattab pernah berkata, “Babi lebih kusukai daripada Umair bin Wahab, ketika dulu mula-mula datang kepada Rasulullah, tetapi kini aku lebih suka kepadapanya daripada sebagian anak-anakku.”
Umair membersihkan jiwanya dengan melaksanakan ajaran-ajaran Islam, memenuhi hati sanubarinya dengan cahaya Al-Qur’an. Setiap hari dia sibuk belajar dan beramal. Sehingga dia lupa kepada Makkah dan orang-orang di Makkah.
Sementara itu Shafwan bin Umayyah selalu menunggu-nunggu Umair kembali dengan sukses, sesuai rencana mereka. Bahkan Shafwan pernah berkata kepada dermawan-dermawan Quraisy, “Bergembiralah kalian dengan berita besar yang akan tiba, sehingga kalian dapat melupakan kekalahan kita di Badar.”
Sudah agak lama Shafwan menunggu, tetapi Umair bin Wahab tidak juga kunjung tiba. Kabar tidak, berita pun tidak. Shafwan mulai gelisah. Dia pergi bolak-balik ke padang pasir penas mencari-cari berita dari setiap musafir yang datang dari Yatsrib (Madinah), kalau-kalau mereka bertemu atau melihat Umair bin Abdul Wahab. Namun sejauh itu tak satupun berita yang memuaskannya.
Pada suatu hari ada seseorang mengatakan “Umair bin Wahab sudah masuk Islam!”
Bagaikan petir di siang bolong menyambar telinga Shafwan. Tadinya dia yakin Umair bin Wahab tidak akan masuk Islam, walaupun seluruh penduduk bumi telah masuk Islam.
Umair bin Wahab rajin belajar agama dan menghafal ayat-ayat Al-Qur’an. Hatinya tenang dan penuh tunduk dengan keyakinan yang baru dianutnya. Kini dadanya terasa penuh hikmah yang dilandasi iman.
Pada suatu hari dia datang kepada Rasulullah SAW, ia berkata, “Ya Rasulullah. Telah sekian lama saya menumpuk dosa dan mendurhakai Allah dan Rasul-Nya. Sekian lama pula saya menghalang melintang memberantas agama Islam dengan segala kemampuan saya, menteror Rasulullah dan para shahabat yang masuk Islam. Kini aku telah bertaubat dan meyakini agama Allah sepenuh jiwa dan raga. Aku telah mempelajari kebenaran agama ini sebanyak yang telah diberikan Allah kepadaku. Maka kini izinkanlah aku kembali ke Makkah, mengajak orang-orang Quraisy masuk Islam. Jika mereka menerima dakwahku, itulah yang sebaik-baiknya bagi mereka. Dan jika mereka menolak, akan kusakiti mereka seperti yang pernah kulakukan terhadap para shahabat Rasulullah.”
Rasulullah SAW mengijinkan Umair bin Wahab pergi ke Makkah. Beliau memberikan petunjuk dan pengarahan yang tepat bagi Umair dalam mengajak umat kepada Islam.
Setibanya di Makkah, didatanginya Shafwan bin Umayyah.
Kata Umair, “hai Shafwan! Anda seorang pemimpin yang cemerlang diantara para pemimpin Quraisy, Anda cerdik pandai bangsa Quraisy yang berotak cerdas dan gemilang. Bagaimanakah pendapat Anda tentang pemujaan dan penyembahan batu, serta mengadakan kurban sesajen untuk batu tersebut? Dapatkah itu diterima oleh akalmu yang sehat? Dapatkah itu diterima sebagai suatu agama?
Saya telah masuk Islam dan mengakui kebenaran yang dibawanya. Saya mengakui Tuhan itu hanya satu, yaitu Allah SWT, dan Muhammad sesungguhnya Rasulullah.”
Sejak itu Umair bin Wahab berdakwah di Makkah, mengajak orang-orang Quraisy masuk Islam. Banyak orang masuk Islam di tangannya.
Semoga Allah SWT melimpahkan pahala kepada Umair bin Wahab dan memberinya cahaya dalam kubur. Amin [sumber: Kepahlawanan Generasi Shahabat Rasulullah SAW terjemah Shuwarun min Hayaatis Shahabat]

Read More......

Abdullah Bin Hudzaifah As-Sahmy


Pahlawan yang kita kisahkan ini, sahabat Rasulullah SAW. bernama: Abdullah BIN HUDZAFAH AS—SAHMY.
Sebelumnya sejarah melewatkannya begitu saja, seperti milyunan orang-orang ‘Arab lainnya. Tetapi Islamlah yang kemudian menugaskan Abdullah bin Hudzhafah menemui dua orang raja besar dunia pada zamannya, yaitu Kisra, Maharaja Persia, dan Kaisar Agung, Maharaja Romawi. Pertemuan Abdullah dengan kedua raja dunia itu abadi dalam sejarah, dan mewarnai perjalanan sejarah itu sèndiri.
Pertemuan Abdullah bin Hudzafah dengan Kisra, Maharaja Persia, terjadi pada tahun keenam Hijriyah, yaitu ketika Rasulullah SAW. mulai mengembangkan Dakwah Islam ke seluruh pelosok dunia. Ketika itu beliau berdakwah melalui surat kepada raja-raja ‘Ajam (non Arab), mengajak mereka masuk Islam.


Rasullulah SAW. telah memperhitungkan resiko yang mungkin timbul dalam pekerjaan penting ini. Para utusan akan diberangkatkan ke negeri-negeri. asing yang belum mereka kenal selama ini. Mereka tidak paham bahasa negeri-negeri yang mereka tuju, belum mengenal seluk-beluk pemerintahan, sosial, dan budayanya. Tetapi mereka harus pergi ke sana mengajak raja-raja asing itu meninggalkan agama mereka semula dan agar mereka menanggalkan kemegahan dan kekuasaaan mereka, untuk tunduk kepada agama Islam yang dianut oleh suatu bangsa yang kemaren menjadi rakyat taklukan mereka.
Memang suatu tugas yang berat dan berbahaya. Pergi ke sana berarti hilang. Kalau toh bisa kembali, berarti suatu kelahiran baru. Karena itu Rasulullah SAW. mengum pulkan para sahabat, kemudian beliau berpidato dihadapan mereka.
Seperti biasa, mula-mula Rasulullah SAW. memuji Allah SWT. dan membaca tasyahhud. Sesudah itu beliau berkata:
“Sesungguhnya aku telah merencanakan hendak mengirim beberapa orang di antara kalian kepada raja raja ‘Ajam. Karena itu janganlah kalian menolak gagasan ku, seperti Bani Israil menolak gagasan Isa bin Maryam.”
Jawab para sahabat, “Kami senantiasa siap melaksanakan segala perintah Rasulullah. Kami bersedia dikirim ke. mana saja dihendaki Rasulullah.”
Rasulullah menunjuk enam orang sahabat untuk menyampaikan surat beliau kepada raja-raja ‘Arab dan ‘Ajam. Salah seorang di antara mereka ialah Abdullah bin Hudzafah As-Sahmy, dipilih beliau untuk menyampaikan surat kepada Kisra Abrawiz, Maharaja Persia.
Abdullah bin Hudzafah telah menyiapkan kendaraannya untuk berangkat. Anak-anak dan keluarganya dititipkannya kepada para sahabat. Kemudian dia berangkat ke tujuan, mengemban tugas dan Rasulullah dengan semangat dan tanggung jawab penuh. Gunung yang tinggi didakinya; lembah yang dalam dituruninya. Dia berjalan seorang diri, tiada berteman selain Allah SWT.
Akhirnya Abdullah bin Hudzafah tiba di ibu kota Persia. Dia minta izin masuk untuk bertemu dengan Kisra. Abdullah memberitahukan kepada pengawal, bahwa dia utusan Rasulullah untuk menyampaikan surat kepada Kisra. Pengawal memberi tahu Kisra, ada utusan membawa surat untuk Baginda.
Kisra memanggil segala pembesar supaya hadir ke majlis Kisra. Kemudian Kisra mengizinkan Abdullah bin Hudzafah masuk menghadap baginda di majlis yang serba gemilang itu.
Abdullah menghadap dengan pakaian sederhana, seperti kesederhanaan orang-orang Islam, tetapi kepalanya tegak, jalannya tegap. Dalam tulang belulangnya mengalir keperkasaan Islam. Di dalam hatinya menyala kekuasaan Iman.
Tatkala Kisra melihat Abdullah menghadap, dia memberi isyarat kepada pengawal supaya menenima surat yang dibawa Abdullah. Tetapi Abdullah menolak memberikannya kepada pengawal.
Kata Abdullah, “Jangan…! Rasulullah memerintahkan supaya memberikan surat ini langsung ke tangan Kisra tanpa perantara Aku tidak mau menyalahi perintah Rasulullah”
Kata Kisra kepada pengawal, “Biarkan dia mendekat kepadaku!”
Abdullah menghampiri Kisra, kemudian surat itu diberikannya ketangan Kisra sendiri. Kisra memanggil sekretaris berkebangsaan ‘Arab, berasal dari Hirah. Kemudian Kisra memerintahkan sekretaris itu membuka surat tersebut di hadapan baginda dan menyuruh membacakan isinya:

“Dari Muhammad Rasulullah, kepada Kisra, Maharaja Kisra.
Berbahagialah siapa yang mengikut petunjuk….”
Baru sampai di situ sekretaris membaca surat, api ke marahan menyala di dada Kisra. Mukanya merah, dan urat lehernya membengkak. Hal itu ialah karena Rasulullah menyebut nama beliau sendiri lebih dahulu sebelum menuliskan nama Kisra. Lalu Kisra merebut surat tersebut dari tangan sekretaris, dan menyobeknya tanpa mengetahui isi surat selanjutnya.
Kisra berteriak, “Berani-berani dia menulis seperti itu kepadaku….! padahal dia budakku…!”
Lalu diperintahkannya mengusir Abdullah bin Hudzafah dari majlis.
Abdullah bin Hudzafah keluar dan Majlis Kisra. Dia tidak mengetahui apa yang akan terjadi pada dirinya sesudah itu. Mungkin dia akan dibunuh dan mungkin pula akan tetap hidup di dunia bebas. Tetapi tidak lama Abdullah berpikiran begitu, ia pun berkata kepada dirinya sendiri, ‘Demi Allah! Aku tidak peduli apa pun yang akan terjadi. Yang penting tugas yang dibebankan Rasulullah kepadaku telah kulaksanakan dengan baik. Surat Rasulullah telah kusampaikan ke tangan yang bersangkutan.” Lalu dengan sigap dia melompat naik kendaraannya, dan berpacu secepat-cepatnya. Setelah kemarahan Kisra Abrawiz agak mereda, diperintahkannya pula para pengawal supaya menghadapkan Abdullah kembali. Tetapi Abdullah sudah tidak ada di tempat. Para pengawal mencari Abdullah ke mana mana. Jejaknya pun tidak dapat mereka temukan. Mereka melacak Abdullah di jalan yang menuju ke Jazirah ‘Arab. Tetapi Abdullah sudah jauh, sehingga tidak mungkin tersusul oleh mereka.
Setibanya Abdullah di hadapan Rasulullah, dilaporkannya segala kejadian yang dilihat dan dialaminya, dan perbuatan Kisra menyobek surat beliau.
Mendengar laporan Abdullah, Rasulullah berkata :
“Semoga Allah menyobek-nyobek kerajaannya pula!”
Kisra menulis surat kepada Badzan, wakil baginda di Yaman untuk menangkap Rasulullah, kemudian membawa beliau ke hadapan Kisra.
Badzan segera melaksanakan perintah Maharaja Persia yang dipertuan. Badzan mengirim dua orang yang pilihan untuk menangkap Rasulullah, disertai sepucuk surat untuk beliau. Surat itu memerintahkan Rasulullah agar segera berangkat menghadap Kisra bersama-sama dengan kedua orang itu tanpa menunggu-nunggu.
Badzan memerintahkan pula kepada kedua utusannya supaya menyelidiki dengan seksama di mana Rasulullah berada, agar teliti dalam segala urusan, dan supaya melapor kepadanya sewaktu-waktu.
Kedua utusan Badzan segera berangkat. Maka dalam tempo singkat keduanya telah sampai di Thaif. Di sana mereka bertemu dengan para pedagang suku Quraisy. Keduanya bertanya kepada mereka di mana Rasulullah berada. Para pedagang mengatakan, “Muhammad berada di Yatsrib.”
Kemudian para pedagang itu meneruskan perjalanan mereka ke Makkah. Setibanya di Makkah, mereka menyiarkan berita gembira kepada penduduk Makkah. Kata mereka, “Tenanglah kalian…! Kisra akan membunuh si Muhammad, dan melindungi kalian dan kejahatannya.”
Kedua utusan Badzan terus ke Madinah. Mereka langsung menemui Rasulullah dan menyampaikan surat Badzan kepada beliau:
Kata mereka, “Kisra, Maharaja Persia mengirim surat kepada Raja kami, Badzan, memerintahkan kami menemui Anda. Kisra memerintahkan kami supaya membawa Anda bersama-sama dengan kami menghadap baginda. Jika Anda berkenan pergi bersama-sama kami, Kisra mengatakan, itulah yang sebaik-baiknya bagi Anda, karena baginda tidak akan menghukum Anda. Tetapi jika Anda mengabaikan perintah Baginda, Anda tentu sudah tahu, baginda sangat berkuasa untuk membinasakan Anda!”
Rasulullah SAW. tersenyum-senyum mendengar perkataan utusan Badzan.
Beliau berkata kepada mereka, “Sebaiknya Tuan-tuan beristirahat lebih dahulu sampai besok. Besok pagi Tuan tuan boleh kembali ke sini!”
Besok pagi kedua utusan itu datang kembali menemui Rasulullah, sesuai dengan janji.
Kata mereka, “Sudah siapkah Anda berangkat bersama-sama dengan kami menemui Kisra?”
Jawab Rasulullah, “Tuan-tuan tidak dapat lagi bertemu dengan Kisra sesudah hari ini. Kisra telah dibunuh oleh anaknya sendiri Syirwan, pada jam sekian, detik sekian, hari dan bulan itu…!”
Kedua utusan Badzan melihat wajah Rasulullah SAW dengan mata terbelalak keheranan.
“Sadarkah Anda dengan ucapan Anda?” tanya mereka. “Bolehkan kami tulis ucapan Anda itu untuk Badzan?”
“Silakan…! Bahkan boleh Tuan-tuan tambahkan, bahwasanya agamaku akan mencapai seluruh kawasan kerajaan Kisra. Jika Badzan masuk Islam, maka wilayah yang berada di bawah kekuasaannya akan saya serahkan kepadanya. Kemudian Badzan sendiri kuangkat menjadi raja bagi rakyatnya.” jawab Rasulullah yakin.
Kedua utusan Badzan meninggalkan Rasulullah SAW. Mereka kembali menghadap Badzan. Mereka melapor kepada Badzan pertemuannya dengan Rasulullah SAW, dan menyampaikan pesan beliau kepadanya.
Kata Badzan, “Jika apa yang dikatakan Muhammad itu benar, sesungguhnya dia seorang Nabi. Jika tidak, ucapannya itu hanya mimpi belaka.”
Tidak berapa lama kemudian, tibalah surat Syirwan kepada Badzan.
Kata Syirwan, “Kisra telah saya bunuh. Aku terpaksa membunuhnya karena dia menindas rakyat kami. Para bangsawan kami habiskan. Wanita-wanita mereka kami tawan. Dan harta benda mereka kami rampas. Maka bila suratku ini telah engkau baca, kamu dan rakyatmu hendaklah menyatakan tunduk kepadaku!”
Selesai membaca surat itu, Badzan mengumumkan kepada seluruh rakyatnya, mulai saat ini dia masuk Islam. Mendengar pengumumannya itu, maka Islam pula semua pembesar dan orang-orang keturunan Persia yang berada di Yaman.
Itulah kisah pertemuan Abdullah bin Hudzafah As Sahmy dengan Kisra, Maharaja Persia.
Nah…! Bagaimana pula kisah pertemuannya dengan Kaisar Agung, Maharaja Rum?
Pertemuan Abdullah bin Hudzafah As Sahmy dengan Kaisar Agung, terjadi pada masa pemerintahan Khalifah ‘Umar bin Khaththab Al Faruq. Kisahnya merupakan kisah yang amat mengagumkan.
Pada tahun kesembilan-belas Hijriyah, Khalifah ‘Umar mengirim angkatan perang kaum muslimin memerangi kerajaan Rum. Dalam pasukan itü terdapat seorang perwira senior, Abdullah bin Hudzafah As Sahmy,
Kaisar Rum telah mengetahui keunggulan dan sifat-sifat tentara muslimin. Sumber kekuatan mereka ialah Iman yang membaja, dan kedalaman aqidah, serta keberanian mereka menghadang maut. Mati fisabilillah menjadi tekad dan cita-cita hidup mereka.
Kaisar memerintahkan kepada para perwiranya, “Jika kalian berhasil menawan tentara muslimin, jangan kalian bunuh mereka. Tetapi bawa ke hadapanku!” Ditakdirkan Allah, Abdullah bin Hudzafah tertawa. Abdullah dibawa mereka ke hadapan Baginda Kaisar.
Kata mereka, “Tawanan ini adalah sahabat Muhammad. Dia termasuk sahabat senior, dari kelompok yang pertama-tama masuk Islam. Dia tertawan, lalu kami bawa ke hadapan Paduka.”
Lama juga kaisar memperhatikan Abdullah bin Hudzafah. Sesudah itu baru dia berkata, “Saya hendak menawarkan sesuatu kepada engkau.”
“Apa yang hendak Anda tawarkan?” tanya Abdullah.
‘Maukah engkau masuk agama Nasrani? Jika engkau mau, saya bebaskan engkau, kemudian saya beri pula hadiah besar,” kata Kaisar.
Abdullah bernafas dalam-dalam, lalu menjawab:
‘Yaah …., aku lebih suka mati seribu kali daripada menerima tawaran Anda,” kata Abdullah mantap.
Kata Kaisar, “Saya lihat engkau seorang perwira yang pintar. Jika engkau mau menerima tawaranku, saya angkat engkau menjadi pembesar kerajaan, dan saya bagi kekuasaan saya dengan engkau.”
Abdullah yang diborgol itu tersenyum. Kemudian ia berkata: “Demi Allah! Seandainya Anda berikan kepadaku semua kerajaan Anda, ditambah dengan semua kerajaan ‘Arab, agar aku keluar dari agama Muhammad agak sebentar saja, niscayalah aku tidak dapat menerimanya.”
Kata Kaisar, “Kalau begitu, saya bunuh engkau!”
Jawab Abdullah, “Silakan…! Lakukanlah sesuka Anda!”
Abdullah disuruhnya ikat di kayu salib. Kemudian diperintahkannya tukang panah memanah lengan Abdullah.
Sesudah itu Kaisar bertanya, “Bagaimana…? Maukah engkau masuk agama Nasrani?”
“Tidak!” kata Abdullah.
‘Panah kakinya!” perintah Kaisar.
Maka dipanah orang pula kakinya.
“Nah! Maukah engkau pindah agama?” tanya Kaisar membujuk
Abdullah tetap menolak.
Sesudah itu Kaisar menyuruh hentikan siksaan dengan panah, lalu Abdullah diturunkan dari tiang salib. Kemudian Kaisar meminta sebuah kuali besar, lalu dituangkan minyak ke dalam dan diletakkan orang di atas tungku berapi. Setelah minyak menggelegak, Kaisar meminta dua orang tawanan muslim. Seorang di antaranya disuruhnya lemparkan ke dalam kuali. Sebentar kemudian, daging orang itu hancur sehingga keluar tulang belulangnya.
Kaisar menoleh kepada Abdullah, dan membujuknya masuk Nasrani. Tetapi Abdullah menolak lebih keras. Setelah Kaisar putus asa, diperintahkannya melemparkan Abdullah ke dalam kuali. Ketika pengawal menggiring Abdullah ke dekat kuali, Abdullah menangis.
Para pengawal mengatakan kepada Kaisar, ‘Dia menangis, Paduka!”
Kaisar menduga, tentu Abdullah menangis karena takut mati.
Kata Kaisar, “Bawa dia kembali kepadaku!”
Abdullah berdiri kembali di hadapan Kaisar.
Kaisar menanyakan apakah Abdullah mau menjadi Nasrani. Dengan Iman yang kokoh kuat, Abdullah tetap menolak bujukan Kaisar.
Kata Kaisar, “Celaka…! Mengapa engkau menangis?”
Jawab Abdullah, “Aku menangis karena keinginanku selama ini tidak terkabul. Aku ingin mati di medan tempur perang fisabiillah. Ternyata kini, aku akan mati konyol dalam kuali.”
“Maukah engkau mencium kepalaku? Nanti kubebaskan engkau!” kata Kaisar dengan angkuh.
Jawab Abdullah, “bebas beserta semua kawan-ka wanku tawanan muslim?”
Jawab Kaisar, “Ya, saya bebaskan engkau berserta semua tawanan muslim.”
Abdullah berpikir sejenak, “Aku harus mencium kepala musuh Allah. Tetapi aku dan kawan-kawan yang tertawan bebas. Ah.. tidak ada ruginya.”
Abdullah menghampiri Kaisar, lalu diciumnya kepala musuh Allah itu.
Sesudah itu Kaisar memerintahkan para pengawal mengumpulkan semua tawanan muslim untuk dibebaskan dan diserahkan kepada Abdullah bin Hudzafah.
Setibanya ‘Abduflah bin Hudzafah di hadapan Khalifah ‘Umar bin Khaththab, dilaporkannya kepada beliau semua yang dialaminya serta pembebasannya berikut sejumlah tentara muslimin yang tertawan. Khalifah sangat gembira mendengarkan laporan Abdullah. Ketika Khalifah memeriksa prajurit muslim yang tertawan dan bebas bersama-sama Abdullah, beliau berkata, “Sepantasnyalah setiap orang muslim mencium kepala Abdullah bin Hudzafah. Nah…! Aku yang memulai….!”
Khalifah berdiri seketika itu juga, lalu mencium kepala Abdullah bin Hudzafah As Sahmy. [sumber : Kepahlawanan Generasi Sahabat Rasulullah SAW terjemah Shuwarun min Hayaati Ash-Shahabah]

Read More......

Thufail bin ‘Amr Ad-Dausy


Thufail bin ‘Amr Ad-Dausy adalah kepala kabilah Daus pada masa jahiliyah. Dia termasuk bangsawan Arab yang terpandang, dan seorang pemimpin yang memiliki kharisma serta kewibawaan yang tinggi dan diperhitungkan orang. Periuknya tidak pernah turun dari tungku. Pintu rumahnya tidak pernah tertutup bagi orang-orang yang bertamu. Dia senang memberi makan orang-orang yang kelaparan, melindungi orang yang sedang ketakutan dan membantu setiap penganggur.

Di samping itu, dia pujangga yang pintar dan cerdas, penyair yang tajam dan berperasaan halus. Selalu tanggap terhadap kenyataan-kenyataan yang manis dan yang pahit. Karya-karyanya mempesona bagaikan sihir.


Pada suatu ketika, Thufail meninggalkan negerinya, Tihamah, menuju Makkah. Waktu itu konfrontasi antara Rasulullah SAW dengan kafir Quraisy semakin nyata. Masing-masing pihak berusaha memperoleh pengikut atau simpatisan guna memperkuat golongannya. Untuk itu, sengaja Rasulullah SAW hanya mendoa kepada Tuhannya, disertai iman dan kebenaran yang dibawanya. Sedangkan kaum kafir Quraisy menegakkan impian mereka dengan kekuatan senjata, dan dengan segala macam cara untuk menghalangi orang banyak menjadi pengikut Nabi Muhammad.

Thufail terlibat dalam kemelut ini tanpa disengaja, karena kedatangannya ke Makkah itu bukan untuk melibatkan diri. Bahkan pertentangan antara Nabi Muhammad dengan kaum kafir Quraisy belum pernah terlintas dalam pikirannya sebelum itu.

Mengenai keterlibatannya dalam pertentangan itu, Thufail mempunyai kenang-kenangan yang tak dapat dilupakannya. Karena itu marilah kita simak ceritanya yang unik berikut ini:

Kedatanganku ke Makkah kali itu mereka sambut agak luar biasa, aku ditempatkan di sebuah rumah istimewa. Kemudian para pemimpin dan pembesar Quraisy berdatangan menemuiku.

Kata mereka, “Hai Thufail! Kami sangat gembira Anda datang ke negeri kami, walaupun negeri kami sedang dilanda kemelut. Orang yang menjadi Nabi itu (Nabi Muhammad) ternyata telah merusak agama kita, merusak kerukunan kita, dan memecah belah persatuan kita semua. Kami kuatir akan mempengaruhi Anda pula. Kemudian dengan kepemimpinan Anda, dipengaruhinya pula kaum Anda, seperti yang terjadi pada kami”

“Karena itu janganlah Anda dekati orang itu, jangan berbicara dengannya dan jangan pula mendengarkan kata-katanya. Sebab kalau dia berbicara, kata-katanya bagaikan sihir. Perkataannya dapat memisahkan anak dengan bapak, merenggangkan saudara sesama saudara dan menceraikan istri dengan suami.”

Demi Allah! Mereka selalu mendampingiku, dan menceritakan hal yang aneh-aneh kepadaku, kata Thufail. Mereka menakut-nakutiku dan kaumku dengan keajaiban-keajaiban yang pernah dilakukan orang itu. Akhirnya aku memutuskan untuk tidak mendekati orang itu, tidak akan berbicara dengannya, dan tidak akan mendengarkan apa-apa yang dikatakannya.

Pada suatu pagi aku pergi ke Masjid hendak thawaf di Ka’bah, dan mengambil berkat dari berhala-berhala yang kami puja. Hal seperti itu biasa kami lakukan ketika kami haji. Telingaku kusumbat dengan kapas, karena aku takut suara Muhammad akan terdengar olehku.

Tetapi ketika masuk ke masjid, kulihat Muhammad sedang shalat dalam Ka’bah. Tetapi shalatnya tidak seperti sholat kami, dan ibadahnya tidak seperti ibadah kami. Aku terpesona melihatnya. Sedikit demi sedikit aku bergerak menghampirinya tanpa sadar, sehingga akhirnya aku dekat sekali kepadanya. Agaknya Allah menakdirkan supaya aku mendengar apa yang dibacanya. Memang, ternyata kalimat-kalimat yang diucapkannya sangat indah dan bagus sekali.

Lalu aku berkata pada diriku, “Betapa celakanya engkau, hai Thufail! Engkau seorang pujangga dan penyair. Engkau mampu membedakan mana yang indah dan yang buruk. Apa salahnya kalau engkau dengarkan dia bertutur…? Mana yang baik boleh engkau ambil, mana yang buruk kau tinggalkan…!”

Aku bagaikan terpaku di tempat itu sampai Rasulullah pulang. Lalu kuikuti dia sampai ke rumahnya. Setelah dia masuk, aku pun masuk pula. Setelah kami duduk, aku bertanya kepadanya:

“Ya Muhammad! Sesungguhnya kaum Anda berkata kepadaku tentang diri Anda begini dan begitu. Mereka menakut-nakutiku berhubungan dengan urusan agama Anda. Oleh karenanya aku menyumbat telingaku dengan kapas agar tidak mendengar perkataan Anda. Tetapi Allah menghendaki supaya aku mendengar sesuatu dari Anda. Ternyata apa yang Anda ucapkan semuanya benar dan bagus. Maka ajarkanlah kepadaku agama Anda itu!”

Rasulullah mengajarkan kepadaku perihal agama Islam. Dibacakannya surat al-Ikhlas dan al-Falaq. Demi Allah! Belum pernah aku mendengar kalimat-kalimat seindah itu. Dan, belum pernah aku mengenal agama yang lebih baik daripada Islam ini.

Setelah itu kuulurkan tanganku kepadanya, lalu kuucapkan dua kalimat syahadat.

Sejak itu aku masuk Islam.

Kemudian aku menetap di Makkah beberapa lama, mempelajari agama Islam dari beliau. Aku menghafal ayat-ayat Al-Qur’an yang dapat kuhafal. Ketika aku bermaksud hendak kembali kepada kaumku, kukatakan kepada beliau, “Ya Rasulullah! Aku ini pemimpin yang dipatuhi oleh kaumku. Aku bermaksud hendak kembali kepada mereka dan mengajak mereka masuk Islam. Tolonglah doakan kepada Allah SWT semoga Allah memberiku bukti-bukti nyata yang dapat memperkuat dakwahku kepada mereka, supaya mereka masuk Islam.”

Rasulullah SAW pun mendoakan.

Di tengah perjalanan pulang, ketika aku sampai di tempat yang dimuliakan kaumku, keluarlah suatu cahaya di antara kedua mataku seperti lampu.

Aku berdoa “Wahai Allah! Pindahkanlah cahaya ini ke tempat lain, karena kalau cahaya ini terletak di antara kedua mataku, aku khawatir kalau-kalau kaumku menyangka mataku telah kena tulah karena meninggalkan agama berhala.”

Maka dengan izin Allah cahaya itu dipindahkan ke ujung tongkatku, bagaikan sebuah kandil tergantung. Setelah aku berada di tengah-tengah mereka, yang pertama-tama mendatangiku adalah bapakku sendiri. Beliau sudah berusia lanjut.

“Menjauhlah daripadaku! Aku bukan lagi putra ayah dan ayah bukan bapakku lagi!”

“Mengapa begitu, hai anakku?” tanya bapak.

“Aku telah masuk Islam. Aku adalah pengikut Nabi Muhammad SAW,” jawabku.

“Wahai anakku! Bagaimana kalau aku masuk agamamu. Supaya agamamu menjadi agamaku pula?” tanya bapak.

“Kalau begitu pergilah Bapak mandi lebih dahulu. Bersihkan badan dan pakaian Bapak. Sesudah itu kembalilah ke sini, supaya kuajarkan kepada Bapak apa yang telah kupelajari tentang Islam.”

Bapakku pergi mandi membersihkan badan dan pakaiannya. Sesudah itu kuajarkan kepadanya tentang Islam, lalu dia masuk Islam.

Kemudian datang pula istriku. Aku berkata kepadanya, “Menjauhlah dariku! Aku bukan suamimu lagi, dan engkau tidak pula istriku lagi.”

“Mengapa begitu. Hai Thufail?” tanya istriku heran.

“Islam telah memisahkan aku dan engkau. Aku telah masuk Islam dan menjadi pengikur Nabi Muhammad SAW.” Jawabku menjelaskan.

“Bolehkah aku masuk agamamu?” tanya istriku.

“Pergilah engkau mandi lebih dahulu ke telaga Dzi Syuara. Bersihkan badanmu di telaga itu!” kataku.

“Apakah engkau tidak takut terkena tulah Dzi Syara’?” tanya istriku cemas.

“Aku tidak peduli dengan berhala Dzi Syara’mu itu! Pergilah mandi ke sana! Tempat itu jauh dari penglihatan orang banyak. Aku menjamin, batu-batu yang tidak bisa apa-apa itu tidak akan berbuat sesuatu yang dapat mencelakaimu!” kataku meyakinkan.

Sesudah mandi dia datang kepadaku. Maka kuajarkan kepadanya tentang Islam, lalu dia masuk Islam.

Kemudian kuajak seluruh kabilah Daus masuk Islam. Tetapi tidak memenuhi ajakanku, kecuali Abu Hurairah. Dia memang paling cepat memenuhi panggilan Islam.

Aku datang memenuhi Rasulullah SAW di Makkah bersama-sama dengan Abu Hurairah.” Ucap Thufail melanjutkan ceritanya.

Rasulullah SAW bertanya, “Bagaimana perkembangan dakwahmu , hai Thufail?”

“Hati kaumku masih tertutup dan sangat kafir. Sungguh seluruh kaumku, kabilah Daus, masih sesat dan durhaka,” jawabku.

Rasulullah SAW pergi mengambil wudlu’ kemudian beliau shalat. Sesudah shalat beliau menadahkan kedua tangannya ke langit, lalu berdoa. Pada saat-saat itu Abu Hurairah merasa khawatir dan takut kalau-kalau Rasulullah SAW mendoakan agar kabilah Daus celaka.

Tetapi kiranya Rasulullah mendoakan sebaliknya: Allaahummahdi Dusan…! Allaahummahdi Dusan…! Allaahummahdi Dusan…! (Wahai Allah! Tunjukkanlah kabilah Daus!)

Kemudian beliau menoleh kepada Thufail, lalu bersabda: “Pulanglah kepada kabilahmu! Bersikap lembutlah terhadap mereka! Dan ajaklah mereka masuk Islam dengan bijaksana!”

Sejak itu hingga Rasulullah hijrah, aku menetap di negeriku dan mengajak kaumku masuk Islam. Sementara itu telah terjadi perang Badar, perang Uhud, dan perang Khandaq. Setelah itu aku datang kepada Rasulullah SAW membawa depalan puluh keluarga muslim Dausy yang keislamannya tidak disangsikan lagi.

Rasulullah menyambut gembira kedatangan kami. Beliau memperlengkapi kami secukupnya dari harta rampasan perang Khaibar.

Kami memohon kepada Rasulullah, “Ya Rasulullah, tempatkanlah kami di sayap kanan pasukan Anda dalam setiap peperangan yang Anda pimpin. Dan kompi muslimin Dausy ini kami beri nama “Kompi Mabrur”

Kata Thufail, “Sesudah itu aku senantiasa mendampingi Rasulullah SAW. Dan turut berperang bersama beliau ke mana saja, hingga kota Makkah dibebaskan dari kekuasaan kaum kafir Quraisy.”

Setelah pembebasan kota Makkah, aku memohon kepada Rasulullah, “Ya Rasulullah! Izinkanlah aku pergi ke Dzil Kaffan, untuk memusnahkan berhala-berhala yang ada di sana.”

Rasulullah memberi izin kepada Thufail. Dia berangkat ke tempat berhala tersebut dengan satu regu tentara dari pasukannya. Sewaktu sampai ke sana dan mereka bersiap hendak membakar berhala Dzil Kaffain, berkerumunlah kaum laki-laki, perempuan dan anak-anak sekitar mereka, menunggu –nunggu apa yang akan terjadi. Mereka menduga akan terjadi petir dan halilintar, bila regu Thufail menjamah berhala Dzil Kaffain itu.

Tetapi Thufail dengan mantap menuju berhala itu disaksikan para pemujanya sendiri. Beliau menyulutkan api tepat di jantung Dzil Kaffain, sambil bersajak; “hai Dzil Kaffain…! Kami bukanlah pemujamu, kelahiran kami lebih dahulu daripada keberadaanmu. Inilah aku, menyulutkan api di jantungmu!”

Setelah api melalap habis patung-patung Dzil Kaffain, sirna pulalah sisa-sisa kemusyrikan dalam Kabilah Daus. Seluruh kabilah Daus lalu masuk Islam, dan menjadi muslim-muslim sejati.

Thufail bin ‘Amr Ad-Dausy senantiasa mendampingi Rasulullah SAW sampai beliau wafat. Ketika Abu Bakar menjadi Khalifah, Thufail dan anak buahnya patuh kepada pemerintahan Khalifah Abu Bakar. Tatkala berkecamuk perang membasmi orang-orang murtad, Thufail paling dahulu pergi berperang bersama-sama tentara muslimin memerangi Musailamah Al-Kadzdzab. Begitu pula putra beliau, ‘Amr bin Thufail, yang selalu tak mau ketinggalan.

Ketika Thufail sedang dalam perjalanan menuju Yamamah (kawasan tempat Musailamah menyebarkan pahamnya yang murtad), dia bermimpi.

“Aku bermimpi. Cobalah kalian ta’birkan mimpiku itu”. Kata Thufail kepada sahabat-sahabatnya.

“Bagaimana mimpi Anda?” tanya kawan-kawannya.

“Aku bermimpi kepalaku dicukur. Seekor burung keluar dari mulutku, kemudian seorang perempuan memasukkan ke dalam perutnya. Anakku ‘Amr menuntut dengan sungguh-sungguh sepaya dibolehkan ikut bersamaku. Tetapi dia tak dapat berbuat apa-apa karena antaraku dan dia ada dinding”

“Sebuah mimpi nan indah!” komentar kawan-kawannya.

Kata Thufail, “Sekarang, baiklah aku ta’birkan sendiri. Kepalaku dicukur, artinya kepalku dipotong orang. Burung keluar dari mulutku, artinya nyawaku keluar dari jasadku. Seorang perempuan memasukkanku ke dalam perutnya, artinya tanah digali orang lalu aku dikuburkan. Aku berharap semoga aku tewas sebagai syahid. Adapun tuntutan ankku, dia juga berharap supaya mati syahid seperti aku. Tetapi permintaannya dikabulkan kemudian.”

Dalam pertempuran memerangi pasukan Musailamah Al-kadzdzab di Yamamah, sahabat yang mulia ini, yaitu Thufail Ibnu ‘Amr Ad-Dausy mendapat cedera sehingga dia terbanting dan tewas di medan tempur.

Putranya ‘Amr, meneruskan peperangan hingga tangan kanannya buntung. Setelah itu dia kembali ke Madinah meninggalkan tangannya sebelah dan jenazah bapaknya di medan tempur Yamamah.

Tatkala Khalifah Umar bin Khattab memerintah ‘Amr bin Thufail (putra Thufail) pernah datang ke majlis Khalifah. Ketika dia sedang berada dalam majlis, makananpun dihidangkan orang. Orang-orang yang duduk dalam majlis mengajak ‘Amr supaya turut makan bersama-sama. Tetapi ‘Amr menolak dan menjauh.

“Mengapa…?”. Tanya Khalifah. “Barangkali engkau lebih senang makan belakangan. Mungkin engkau malu karena tanganmu itu.”

“Betul, ya Amirul Mukminin” jawab ‘Amr.

Kata Khalifah. “Demi Allah! Aku tidak akan memakan makanan ini, sebelum ia sentuh dengan tanganmu yang buntung itu. Demi Allah! Tidak seorang jua pun yang sebagian tubuhnya telah berada di surga, melainkan hanya engkau.”

Mimpi Thufail menjadi kenyataan semuanya. Tatkala perang Yarmuk, ‘Amr bin Thufail turut berperang bersama-sama dengan tentara muslimin. ‘Amr tewas dalam peperangan itu sebagai syuhada, seperti yang diharapkan bapaknya.

Semoga Allah memberi rahmat kepada Thufail dan kepada putranya, ‘Amr, syahid di medan tempur Yamamah dan Yarmuk. [Sumber: Kepahlawanan Generasi Sahabat Rasulullah terjemah Shuwarum Min Hayatis Shahabah]

Read More......

Sa’id bin ‘Amir Al-Jumahy


“Dia telah membeli akhirat dengan dunia,
mengutamakan keridhaan Allah dan Rasul
atas segala-galanya”
(Muarrikhin)


Sa’id bin ‘Amir Al-Jumahy termasuk pemuda diantara ribuan orang yang pergi ke Tan’im, di luar kota Makkah. Mereka berbondong-bondong ke sana, dikerahkan para pemimpi Quraist untuk menyaksikan pelaksanaan hukuman mati terhadap Khubaib bin ‘Ady, yaitu seorang sahabat Nabi yang mereka hukum tanpa alasan.

Dengan semangat muda yang menyala-nyala, Sa’id maju menerobos orang banyak yang berdesak-desakan. Akhirnya dia sampai di depan, sejajar dengan tempat duduk orang-orang penting seperti Abu Sufyan bin Harb, Shafwan bin Umayyah dan lain-lain.

Kaum kafir Quraisy sengaja mempertontonkan tawanan mereka dibelenggu. Sementara para wanita, anak-anak dan pemuda menggiring Khubab ke lapangan maut. Mereka ingin membalas dendam terhadap Nabi Muhammad SAW, serta melampiaskan sakit hati atas kekalahan mereka dalam perang Badar.


Ketika tawanan yang mereka giring sampai ke tiang salib yang tealah disediakan, Sa’id mendongakkan kepala melihat kepada Khubaib bin ‘Ady. Sa’id mendengar suara Khubaib berkata dengan mantap, “Jika kalian bolehkan, saya ingin shalat dua raka’at sebelum kalian bunuh…”

Kemudian Sa;id melihat Khubaib menghadap ke kiblat (ka’bah). Dia shalat dua raka’at. Alangkah bagus dan sempurna shalatnya itu. Sesudah shalat Khubaib menghadap kepada para pemimpin Quraisy seraya berkata, “Demi Allah! Seandainya kalian tidak akan menuduhku melama-lamakan shalat untuk mengulur-ulur waktu karena takut mati, niscaya aku akan shalat lebih lama lagi.” Mendengar ucapan Khubaib tersebut, Sa’id melihat para pemimpin Quraisy naik darah, bagaikan hendak mencincang-cincang tubuh Khubaib hidup-hidup.

Kata mereka, “Sukakah engkau bila Muhammad menggantikan engkau, kemudian engkau kami bebaskan?”

“Aku tidak ingin bersenang-senang dengan istri dan anakku, sementara Muhammad tertusuk duri,” jawab Khubaib mantap.

“Bunuh dia…! Bunuh dia…!” teriak orang banyak. Sa’id melihat Khubaib telah dipakukan ke tiang salib. Dia mengarahkan pandangannya ke langit sambil berdo’a, “Ya Allah! Hitunglah jumlah mereka! Hancurkan mereka semua. Jangan sisakan seorang jua pun!”

Tidak lama kemudian Khubaib menghembuskan nafasnya yang terakhir di tiang salib. Sekujur tubuhnya penuh dengan luka-luka karena tebasan pedang dan tikaman tombak yang tak terbilang banyaknya.

Kaum kafir kembali ke Makkah biasa-biasa saja. Seolah-olah mereka telah melupakan peristiwa maut yang merenggut nyawa Khubaib dengan sadis. Tetapi Sa’id bin ‘Amir Al-Jumahy yang baru meningkat usia remaja tidak dapat melupakan Khubaib walau sedetik pun. Sehingga dia bermimpi melihat Khubaib menjelma di hadapannya. Dia seakan-akan melihat Khubaib shalat dua rakaat dengan khusyu’ dan tenang di bawah tiang salib. Seperti terdengar olehnya rintihan suara Khubaib mendoakan kaum kafir Quraisy. Karena itu, Sa’id ketakutan kalau-kalau Allah SWT segera mengabulkan doa Khubaib, sehingga petir dan halilintar menyambar kaum Quraisy.

Keberanian dan ketabahan Khubaib dalam menghadapi maut mengajarkan kepada Sa’id beberapa hal yang belum pernah diketahuinya selama ini.

Pertama, hidup yang sesungguhnya adalah hidup beraqidah, beriman; kemudian berjuang mempertahankan aqidah itu sampai mati.

Kedua, iman yang telah terhujam dalam di hati seseorang dapat menimbulkan hal-hal yang ajaib luar biasa.

Ketiga, orang yang paling dicintai Khubaib adalah sahabatnya, yaitu seorang Nabi yang dikukuhkan dari langit.

Sejak itu Allah SWT membukakan hati Sa’id bin ‘Amir untuk menganut agama Islam. Kemudian dia berpidato di hadapan khalayak ramai, menyatakan: alangkah bodohnya orang Quraisy menyembah berhala. Karena itu dia tidak mau terlibat dalam kebodohan itu. Lalu dibuangnya berhala-berhala yang dipujanya selama ini. Kemudian diumumkannya, mulai saat itu dia masuk Islam.

Tidak lama sesudah itu, Sa’id menyusul kaum muslimin hijrah ke Madinah. Di sana dia senantiasa mendampingi Nabi SAW. Dia ikut berperang bersama beliau, mula-mula dalam peperangan Khaibar; kemudian dia selalu turut dalam setiap peperangan berikutnya.

Setelah Nabi SAW berpulang ke rahmatullah, Sa’id tetap menjadi pembela setia Khalifah Abu Bakar dan Umar bin Khattab. Dia menjadi teladan bagi orang mukmin yang membeli kehidupan akhirat dengan kehidupan dunia. Dia lebih mengutamakan keridhaan Allah dan pahala dari-Nya di atas segala keinginan hawa nafsu dan kehendak jasad.

Kedua khalifah Rasulullah, Abu Bakar dan Umar bin Khattab mengerti bahwa ucapan-ucapan Sa’id sangat berbobot, dan taqwanya sangat tinggi. Karena itu keduanya tidak keberatan mendengar dan melaksanakan nasihat-nasihat Sa’id.

Pada suatu hari di awal pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab, Sa’id datang kepadanya memberi nasihat.

Kata Sa’id, “ya Umar! Takutlah kepada Allah dalam memerintah manusia. Jangan takut kepada manusia dalam menjalankan agama Allah! Jangan berkata berbeda dengan perbuatan. Karena sebaik-baik perkataan adalah yang dibuktikan dengan perbuatan.

Hai Umar! Tujukanlah seluruh perhatian Anda kepada urusan kaum muslimin, baik yang jauh maupun yang dekat. Berikan kepada mereka apa yang Anda dan keluarga Anda sukai. Jauhkan dari mereka apa-apa yang Anda dan keluarga Anda tidak sukai. Arahkan semua karunia Allah kepada yang baik. Jangan hiraukan cacian orang-orang yang suka mencaci.”

“Siapakah yang sanggup melaksanakan semua ini, hai Sa’id?” tanya khalifah Umar.

“Tentu orang seperti Anda! Bukankah Anda telah dipercayai Allah memerintah umat Muhammad ini? Bukankah antara Anda dan Allah tidak ada lagi suatu penghalang?” jawab Sa’id meyakinkan.

Pada suatu ketika khalifah Umar memanggil Sa’id untuk diserahi suatu jabatan dalam pemerintahan.

“Hai Sa’id! Engkau kami angkat sebagai Gubernur di Himsh!” kata khalifah Umar.

“Wahai Umar! Saya memohon kepada Allah semoga Anda tidak mendorong saya condong kepada dunia,” kata Sa’id.

“Celaka Engkau!” balas Umar marah. “Engkau pikulkan beban pemerintahan ini dipundakku, tetapi kemudian Engkau menghindar dan membiarkanku repot sendiri.”

“Demi Allah! Saya tidak akan membiarkan Anda,” jawab Sa;id.

Kemudian khalifah Umat melantik Sa’id menjadi gubernur di Himsh.

Sesudah pelantikan, khalifah Umar bertanya kepada Sa’id, “Berapa gaji yang Engkau inginkan?”

“Apa yang harus saya perbuat dengan gaji, ya Amirul Mukminin?” jawab Sa’id balik bertanya. “Bukankah penghasilan saya dari Baitul Mal sudah cukup?”

Tidak berapa lama setelah Sa’id memerintah di Himsh, sebuah delegasi datang menghadap Khalifah Umar di Madinah. Delegasi itu terdiri dari penduduk Himsh yang ditugasu Khalifah mengamat-amati jalannya pemerintahan di Himsh.

Dalam pertemua dengan delegasi tersebut, Khalifah Umar meminta daftar fakir miskin Himsh untuk diberikan santunan. Delegasi itu mengajukan daftar yang diminta Khalifah. Di dalam daftar tersebut terdapat nama si Fulan, dan nama Sa’id bin ‘Amir Al-Jumahy.

Ketika Khalifah meneliti daftar tersebut, beliau menemukan Sa’id bin ‘Amir Al-Jumahy. Lalu beliau bertanya, “Siapa Sa’id bin ‘Amir Al-Jumahy yang kalian cantumkan ini?”

“Gubernur kami!” jawab mereka.

“Betulkah Gubernur kalian miskin?” tanya Khalifah heran.

“Sungguh ya Amirul Mukminin! Demi Allah! Seringkali di rumahnya tidak kelihatan tanda-tanda api menyala (tidak memasak),” jawab mereka meyakinkan.

Mendengar perkataan itu, Khalifah Umar menangis, sehingga air mata beliau menetes membasahi jenggotnya. Kemudian beliau mengambil sebuah pundi-pundi berisi uang seribu dinar.

“Kembalilah kalian ke Himsh. Sampaikan salamku kepada Gubernur Sa’id bin ‘Amir, dan uang ini saya kirimkan untuk beliau, guna meringankan kesulitan-kesulitan rumah tangganya,” ucap Umar sedih.

Setibanya di Himsh, delegasi itu segera menghadap Gubernur Sa’id, menyampaikan salam dan uang kiriman Khalifah untuk beliau. Setelah Gubernur Sa’id melihat pundi-pundi berisi uang dinar, pundi-pundi itu dijauhkannya dari sisinya seraya berucap, “Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun”

Mendengar ucapan itu, seolah-olah suatu mara bahaya sedang menimpanya. Karena itu istrinya segera menghampiri seraya berkata, “Apa yang terjadi hai Sa’id? Meninggalkah Amirul Mukminin?”

“Bahkan lebih besar dari itu!” jawab Sa’id sedih.

“Apakah tentara muslimin kalah berperang?” tanya istrinya pula.

“Jauh lebih besar dari itu!” jawab Sa’id tetap sedih.

“Apa pulakah gerangan yang lebih dari itu?” tanya istrinya tak sabar.

“Dunia telah datang untuk merusak akhiratku. Bencana telah menyusup ke rumah tangga kita,” jawab Sa’id mantap.

“Bebaskan dirimu daripadanya!” kata istri Sa’id memberi semangat, tanpa mengetahui perihal adanya pundi-pundi uang yang dikirimkan Khalifah Umar bin Khattab untuk suaminya.

“Maukah Engkau menolongku berbuat demikian?” tanya Sa’id.

“Tentu…!” jawab istrinya bersemangat. Maka Sa’id mengambil pundi-pundi uang itu, lalu disuruhnya istrinya membagi-bagikan kepada fakir miskin.

Tidak berapa lama kemudian, Khalifah Umar berkunjung ke Syria, menginspeksi pemerintahan di sana. Dalam kunjungannya beliau menyempatkan diri singgah di Himsh. Kota Himsh pada masa itu rakyatnya sering melapor kepada pemerintah pusat dengan kelemahan-kelemahan gubernur mereka, persis seperti kelakuan masyarakat Kufah.

Tatkala Khalifah singgah di sana, rakyat mengelu-elukan beliau, mengucap selamat datang.

Khalifah bertanya kepada rakyat, “Bagaimana penilaian Saudara-saudara terhadap kebijakan Gubernur Saudara-saudara?”

“Ada empat kelemahan yang hendak kami laporkan kepada Khalifah,” jawab rakyat.

“Saya akan pertemukan kalian dengan Gubernur kalian,” jawab Khalifah Umar sambil berdoa, “Semoga sangka baik saya selama ini kepada Sa’id bin ‘Amir tidak salah.”

Maka tatkala semua pihak, yaitu Gubernur dan masyarakat telah lengkap berada di hadapan Khalifah, beliau bertanya kepada rakyat, “Bagaimana laporan Saudara-saudara tentang kebijakan Gubernur Saudara-saudara?”

“Pertama, Gubernur selalu tiba di tempat tugas setelah matahari tinggi.”

“Bagaimana tanggapan Anda mengenai laporan rakyat ini, hai Sa’id?” tanya Khalifah.

Gubernur Sa’id bin ‘Amir Al-Jumahy diam sejenak. Kemudian dia berkata, “Sesungguhnya saya keberatan menanggapinya. Tetapi apa boleh buat. Keluarga saya tidak mempunyai pembantu. Karena itu, tiap pagi saya terpaksa turun tangan membuat adonan roti lebih dahulu untuk mereka. Sesudah itu barulah saya berangkat ke tempat tugas untuk melayani masyarakat.”

“Apalagi laporan Saudara-saudara?” tanya Khalifah kepada hadirin.

“Kedua, Gubernur tidak bersedia melayani kami pada malam hari.”

“Bagaimana pula tanggapan Anda mengenai itu, hai Sa’id?” tanya Khalifah.

“Hal itu sesungguhnya lebih berat bagi saya menanggapinya, terutama di hadapan umum seperti ini,” kata Sa’id. “Saya telah membagi waktu saya, siang hari untuk melayani masyarakat, malam hari untuk bertaqarrub kepada Allah,” lanjut Sa’id.

“Apa lagi,” tanya Khalifah kepada hadirin.

“Ketiga, Gubernur tidak masuk kantor sehari dalam sebulan.”

“Bagaimana pula tanggapan Anda, hai Sa’id?” tanya Khalifah.

“Sebagaimana telah saya terangkan tadi, saya tidak mempunyai pembantu rumah tangga. Di samping itu saya hanya memiliki sepasang pakaian yang melekat di badanku ini. Saya mencucinya, saya terpaksa menunggu kering lebih dahulu. Sesudah itu barulah saya dapat keluar melayani masyarakat,” ucap Sa’id.

“Nah, apalagi laporan selanjutnya?” tanya Khalifah.

“Keempat, sewaktu-waktu Gubernur menutup diri untuk bicara. Pada saat-saat seperti itu biasanya beliau pergi meninggalkan majelis.”

“Silakan menanggapi, hai Sa’id!” kata Khalifah Umar.

“Ketika saya masih musyrik dulu, saya pernah menyaksikan almarhum Khubaib bin ‘Ady dihukum mati oleh kaum kafir Quraisy. Saya menyaksikan mereka menyayat-nyayat tubuh Khubaib berkeping-keping. Pada waktu itu mereka bertanya mengejek Khubaib “Sukakah engkau Muhammad menggantikan engkau, kemudian engkau kami bebaskan?”

Ejekan mereka itu dijawab oleh Khubaib, “Saya tidak ingin bersenang-senang dengan istri dan anak-anak saya, sementara Nabi Muhammad tertusuk duri…”

“Demi Allah…!” kata Sa’id, “Jika saya teringat akan peristiwa itu, di waktu mana saya membiarkan Khubaib tanpa membelanya sedikitpun, maka saya merasa, bahwa dosa saya tidak akan diampuni Allah SWT.”

“Segala puji bagi Allah yang tidak mengecewakanku,” kata Khalifah Umar mengakhiri dialog itu.

sekembalinya ke Madinah, Khalifah Umar mengirimi Gubernur Sa’id seribu dinar untuk memenuhi kebutuhannya.

Melihat jumlah uang sebanyak itu, istrinya berkata kepada Sa’id, “Segala puji bagi Allah yang telah mencukupi kita berkat pengabdianmu. Saya ingin uang ini kita pergunakan untuk membeli bahan pangan dan kelengkapan lain-lain. Dan saya ingin pula menggaji seorang pembantu rumah tangga.”

“Adakah usul yang lebih baik dari itu?” tanya Sa’id kepada istrinya.

“Apa pulakah yang lebih baik dari itu?” jawab istrinya balik bertanya.

“Kita bagi-bagikan saja uang ini kepada rakyat yang membutuhkannya. Itulah yang lebih baik bagi kita” jawab Sa’id.

“Mengapa?” tanya istrinya.

“Dengan begitu berarti kita mendepositokan uang ini kepada Allah. Itulah cara yang lebih baik,” kata Sa’id.

“Baiklah kalau begitu,” kata istrinya. “Semoga kita dibalasi Allah dengan balasan yang paling baik.”

Sebelum mereka meninggalkan majelis, uang itu dimasukkan Sa’id ke dalam beberapa pundi, lalu diperintahkannya kepada salah seorang keluarganya.

“Pundi ini berikan kepada janda si Fulan. Pundi ini kepada anak yatim si Fulan. Ini kepada si Fulan yang miskin…” dan seterusnya.

Semoga Allah SWT meridhai Sa’id bin ‘Amir Al-Jumahy. Dia telah membeli akhirat dengan menghindari godaan kemewahan dunia, dan mengutamakan keridhaan Allah serta pahala yang berlipat ganda di akhirat, lebih dari segala-galanya. Amiin. [Sumber: Kepahlawanan Generasi Sahabat terjemah Shuwarum Min Hayatis Shahabah]

Read More......
 
 
 

KUNJUNGAN

free counters
Powered By Blogger

detiknews - detiknews

JARINGAN

 
Copyright © KAMUS BABEL