Sinagog Kharab; Awal Tanda Kehancuran Masjid Al-Aqsa?

2 Apr 2010

Oleh : M. Lili Nur Aulia

Sejak awal tahun 2010, terasa sekali berbagai indikator yang muncul terkait rencana Yahudisasi Al-Quds. Lihatlah, intensitas aksi serangan Yahudi radikal ke Masjid Al-Aqsa yang berulangkali terjadi hingga tentara Israel berani melontarkan tembakan gas air mata dan peluru karet ke arah pintu ruang utama Masjid yang disebut Masjid Al-Qibali. Hingga persitiwa menghebohkan yang terjadi, peresmian Sinagog terbesar bernama Kharab.

Sebuah kajian dari Al-Quds International Institution menyebut Zionis memang ingin aksi lebih konkret di tahun 2010 ini. Terlebih dengan latar belakang pengalaman buruk yang dialami Zionis Israel paska kegagalan perang atas Lebanon, setelah keterpurukan luar biasa karena tak mampu mengalahkan Hamas di Gaza, juga kegagalan melakukan Yahudisasi atas Al-Quds sepanjang 43 tahun. Terjadi pula beberapa perubahan paradigma komunitas Yahudi, dari yang menganggap kesucian sejarah Yahudi ada di area Masjid Al-Aqsa dan menyebutnya sebagai lokasi sakral bagi Yahudi. Dan perubahan paradigma sebagian Yahudi yang menganggap Kuil III tak perlu dibangun di atas tanah Masjid Al-Aqsa.


Rangkaian peristiwa itu mendorong Zionis Israel berkeras untuk bisa mewujudkan target kejahatannya secara lebih terukur. Dan itulah yang dirasakan langsung oleh Al-Quds sejak awal tahun 2009, bersamaan dengan aksi gila militer Israel atas Gaza. Tahun 2009 menjadi tahun derita paling berat bagi umat Islam, Masjid Al-Aqsa dan Al-Quds, mengingat terlampau seringnya tentara Israel menyerang Masjid Al-Aqsa dan terlampau banyaknya penduduk Al-Quds yang diusir dan dikuasai Israel tanah serta rumah mereka.

Mengenal Bahaya Sinagog Kharab
Sinagog Kharab adalah bangunan sinagog terbesar milik Israel yang berjarak beberapa puluh meter saja dari Masjid Al-Aqsa. Kisah tentang sinagog ini sesungguhnya sudah bermula sejak tahun 2001. kala itu, Zionis Israel menetapkan pembangunannya dengan asumsi biaya tak kurang dari 12 juta dollar, yang sudah terkumpul dari subsidi Israel dan berbagai konglomerat Yahudi di seluruh dunia.

Pembangunannya sendiri baru dimulai di tahun 2006, usai digambarkan peta lokasi dan konstruksi bangunannya secara utuh berdasarkan peta sebuah sinagog yang hancur di tahun 1948. Israel, melalui keterangan resmi mereka, menjelaskan misi pengelolaan Sinagog Kharab melalui sebuah lembaga bernama “Dana Budaya Tembok Ratapan.”

Sinagog yang letaknya bersebelahan dengan Masjid Al-Umari, di atas tanah wakaf yang diberikan penduduk Palestina itu, memiliki tinggi bangunan 24 meter dan kubahnya memiliki 12 jendela. Dengan kubah warna putih, keberadaan sinagog sangat mencolok bila dilihat dari lokasi Masjid Al-Aqsa. Apalagi bila diketahui jaraknya memang dekat dengan tembok sisi barat Masjid Al-Aqsa, yang di sisinya adalah Masjid Al-Umari, sebuah masjid bersejarah milik umat Islam yang ditutup oleh Zionis Israel. Konstruksi bangunan kubah Sinagog yang besar dan berwarna putih juga menunjukkan untuk kian menyamarkan simbol Masjid Al-Aqsa dan Masjid Qubbatu Shakhrah (kubah emas) yang ada di Al-Quds.

Tiga bulan sebelum akhirnya diresmikan pada 16 Maret 2010, berbagai media massa Zionis Israel sudah gencar mengangkat informasi peresmian Sinagog Kharab ini. Media-media massa Israel telah menyebutkan bahwa proyek pembangunan Sinagog Kharab itu akan rampung di pertengahan bulan Maret 2010. Dan, sesuai banyak artikel yang dimuat di harian Haaretz berbahasa Ibrani, peresmian Sinagog Kharab adalah langkah fenomenal Yahudi sebagai tanda mereka berhasil mengukuhkan Al-Quds sebagai ibukota Israel, keberhasilan penting Yahudisasi Al-Quds, dan sinagog itu akan menjadi simbol penting bagi ritual Yahudi di Al-Quds. Seiring dengan informasi peresmian Sinagog Kharab, atau sejak awal tahun 2010, beragam kelompok ortodoks Yahudi pun melakukan sejumlah aksi “pemanasan” dengan beberapa kali menggelar ritual di halaman masjid, meski harus berhadapan dengan pemuda Palestina yang mencoba menghalangi mereka. Tapi aksi-aksi itu bisa dikatakan berhasil karena didukung oleh aparat polisi dan tentara Israel. bersambung ke Sinagog Kharab; Awal Tanda Kehancuran Masjid Al-Aqsa? (2) [Sumber: Majalah Tarbawi edisi 225]

Read More......

Adikku, Masihkah Kau Rayakan April Mop?

1 Apr 2010

Hari ini, 523 tahun yang lalu. Muslim Spanyol di Granada ketakutan. Terbayang kengerian yang akan terjadi sesaat lagi. Pasukan Salib yang telah menaklukkan kota itu, pasti tidak akan membiarkan mereka hidup. Apalagi berita kebengisan Pasukan Salib sudah menyebar dari mulut ke mulut. Mereka kerap membantai kaum muslimin; tidak peduli muda atau tua, laki-laki atau wanita, dewasa maupun remaja, bahkan balita.

Itulah yang mereka dengar, dan demikianlah faktanya. Pasukan Salib seakan haus darah kaum muslimin. Sehingga ketika mereka memenangkan peperangan, masjid-masjid pun digenangi darah kaum muslimin. Padahal kaum muslimin itu bukan tentara. Tidak terlibat perang.


Namun perasaan takut kaum muslimin seketika bercampur dengan kaget dan secercah harapan. "Wahai para muslim Granada, kalian boleh hidup aman di luar Spanyol. Maka keluarlah kalian. Silahkan berlayar dan tinggalkan kota ini!" demikian inti pengumuman yang dikeluarkan oleh Pasukan Salib.

Semula banyak kaum muslimin yang ragu akan pengumuman itu. Namun keinginan mereka untuk hidup dalam Islam mendorong mereka untuk keluar dari persembunyiannya. Mereka berharap, meski terusir dari tanah air tanpa membawa apa-apa, mereka bisa hidup bersama anak-anak yang akan meneruskan agama mulia yang dianutnya. Satu per satu mereka keluar menuju pelabuhan.

Memang benar. Di pelabuhan sudah menanti kapal yang akan mengangkut mereka berlayar keluar Spanyol. Ribuan muslim dalam kapal yang kebanyakan terdiri dari wanita dan anak-anak itu mulai cerah wajahnya. Ada harapan hidup. Namun, harapan ini segera sirna. Jerit histeris anak-anak memenuhi kapal. Tangis para wanita muslimah melipatgandakan kesedihan yang bercampur takut, amarah, dan kebingungan. Kapal itu dibakar! Dibakar oleh pasukan Salib. Ternyata semua sudah direncanakan.

Maka bersamaan dengan terbakarnya kapal, mulailah puing-puingnya jatuh memenuhi laut, wanita dan anak-anak pun terpanggang. Tidak butuh waktu lama kapal itu segera tenggelam. Mereka yang sempat selamat dari kobaran api dan hendak lari, disambut dengan sabetan pedang pasukan Salib. Laut pun berubah warna menjadi merah kehitam-hitaman. Menjadi saksi putusnya sebuah generasi muslim di sebuah negeri.

1 April 1487. Hari itu kemudian dikenal dengan nama "The April Fool Day". Seiring bergulirnya waktu, hari itu disamarkan dan dikenang dengan sebutan April Mop. Demi mengabadikan kemenangan licik itu, April Mop diperingati dengan "ritual" boleh mengerjai, menipu dan menjahili orang lain pada tanggal ini. Dan orang yang dikerjai, tidak boleh marah.

Meskipun tidak sepopuler Hari Valentin, April Mop ternyata juga banyak diikuti oleh remaja Islam kita. Saya sendiri masih ingat sewaktu masih duduk di bangku sekolah menengah. Seorang teman mengerjai teman-teman yang lain, ada yang sampai menangis. Setelah puas, ia bilang itu adalah "hadiah" April Mop. Di sekolah itu tidak hanya ia yang melakukan hal serupa.

Seperti kata Ibnu Khaldun, bangsa yang dikalahkan banyak mengekor bangsa yang mengalahkannya. Banyak hal dari luar Islam yang kini ditiru begitu saja oleh umat Islam, khususnya para remajanya. Termasuk April Mop. Mereka tidak tahu, saat mereka ikut-ikutan merayakan, sesungguhnya mereka tengah merayakan pembantaian atas saudara-saudaranya; yang kebanyakan korbannya seusia ibu-ibu kita. Merayakan April Mop berarti merayakan kekalahan kita, sekaligus merayakan kemenangan musuh kita.

Rasulullah bahkan menggeneralisir setiap tradisi non muslim –khususnya yang berkaitan dengan ritus- merupakan unsur magnetis yang membuat kita bisa terafiliasi dalam hakikat entitas mereka. "Man tasyabbaha bi qaumin, fa huwa minhum" Siapa yang menyerupai suatu kaum, maka termasuk golongan mereka.

Buat adik-adikku, para remaja Islam, para pelajar Islam, masihkah kau merayakan April Mop? Semoga tidak lagi. [Muchlisin]

Read More......

Mars Permasisel

31 Mar 2010

MARS PERMASISEL

Wahai sahabat mari mendekat
Bersama dalam satu barisan
Wahai sabahat tetap semangat
Bersama membangun peradaban

Reff:
Bersama permasisel
Melangkah kita membangun ukhuwah
Bersama permasisel
Berjuang kita membangun daerah

Jalan ini penuh onak dan duri
Tanpamu sahabat aku tak berarti
Jalan ini terjal berliku
Tanpamu sahabat aku tak mampu



___________________________

Jika ada mimpi hari ini yang akan menjadi kenyataan di hari esok mengatakan bahwa, Indonesia akan memasuki sebuah peradaban besar di dalam setiap sisi kehidupannya. Maka katakanlah, "..Peradaban besar itu dimulai dari Wilayah Sumatera Bagian Selatan.." Allahu Akbar..!!


Read More......

Logo Baru Permasisel





Read More......

Internasionalisasi Pendidikan, Saatnya Pemerintah Menaruh Perhatian


LONDON, KOMPAS.com - Perkembangan pendidikan tinggi telah berubah secara drastis selama beberapa dekade belakangan ini. Ke depan akan semakin terlihat perubahan yang lebih nyata lagi, yaitu internasionalisasi pendidikan tinggi yang kian menjadi prioritas di banyak negara di dunia.

Demikian dipaparkan oleh Vise-Provost University College London (UCL) Prof. Michael Worton dalam presentasi bertajuk "The Challenge and Rewards of Internationalising Higher Education" pada acara East Asia Inward Mission di Kampus UCL, Senin (22/3/2010).


Michael mengatakan, sudah saatnya pemerintah di berbagai negara perlu menaruh perhatiannya secara lebih besar, termasuk dalam hal investasi di dalam perkembangan pendidikan tinggi ini, yang antara lain menyangkut tiga hal, yaitu International Higher Education (HE), Transnational HE, serta Global HE.

"Ketiganya menyajikan beberapa hal berbeda, tetapi yang terpenting adalah pertama, mobilitas baik bagi siswa maupun staf instansi pendidikan, yang kedua perubahan keinginan dari para siswa, dan ketiga harapan dan permintaan dari para karyawan yang berujung pada peningkatan jumlah staf di instansi-instasi tersebut," ujar Michael di hadapan para pimpinan perguruan tinggi dari berbagai negara di Asia Timur, termasuk enam rektor perguruan tinggi Indonesia yang akan menghadiri Konferensi Pendidikan Internasional "Going Global Conference 4" di London, Inggris, pekan ini.

"Pada akhirnya semua itu akan membentuk global citizen dan kembalinya nilai-nilai sosial dan moral ke dalam kurikulum seperti yang kita inginkan selama ini," ujarnya.

Menanggapi hal tersebut, Rektor Institut Teknologi Bandung (ITB) Prof. Akhmaloka mengatakan, bahwa membangun internasionalisasi pendidikan tinggi merupakan kesadaran seluruh negara di dunia. Menurutnya, HE tidak dapat dibangun oleh satu negara secara sendiri-sendiri, namun harus melalui proses kolaborasi yang erat dan saling menguntungkan.

"Ada kecenderungan untuk menggembosi negara-negara berkembang, tetapi ini merupakan kecenderungan yang positif dan harus dimanfaatkan. Kita, terutama pemerintah, harus bisa terbuka menanggapi semangat kolaborasi ini," ujar Akhmaloka.

Read More......

12 Universitas Terima Dana Kemitraan dengan Inggris


JAKARTA, KOMPAS.com - Dari 44 proposal yang diterima oleh British Council, 11 universitas di Indonesia terpilih untuk menerima dana masing-masing sebesar £ 10,000 atau sekitar Rp 143 juta. Dana ini sebagai dana awal pengembangan kemitraan mereka dengan universitas-universitas di Inggris.

Adapun perguruan-perguruan tinggi penerima dana tersebut antara lain Universitas Indonesia (UI), Institut Teknologi Bandung (ITB), Institut Pertanian Bogor (IPB), Universitas Bina Nusantara (Binus), Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Universitas Gadjah Mada (UGM), Universitas Trisakti, Universitas Pelita Harapan (UPH) Surabaya, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Sekolah Tinggi Pariwisata (STP) Bandung, serta penerima dana khusus; Politeknik Negeri Bandung.


Awalnya, melalui seminar yang digelar di Jakarta pada 7 November 2009 lalu, British Council mengundang universitas-universitas di Indonesia untuk mengajukan proposal kerjasama dalam berbagai bentuk. Bentuk-bentuk kerjasama itu antara lain seperti dual degree, twinning program, riset, serta pengembangan modul.

"Mereka terpilih karena telah memenuhi persyaratannya yaitu proposal kerjasama tersebut harus mempunyai partner institusi yang jelas di Inggris, programe delivery yang mendetail dan menunjukkan kemungkinan kerjasama bisa berlangsung dalam jangka panjang melalui pembiayaan sendiri, dan tentu saja, harus mampu mendorong terciptanya internasionalisasi pendidikan tinggi di Indonesia," ujar Duta Besar Kerajaan Inggris Martin Hatfull di acara seremoni penyerahan dana pengembangan kemitraan tersebut di kediamannya, di Jalan Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (18/3/2010).

Atas penerimaan dana tersebut, UI akan melakukan kerjasama dengan University of Newcastle dalam kerjasama program bidang Penelitian Biomedical, ITB dan Goldsmiths, University of London (GUL) untuk pengembangan modul MBA bidang Entrepreneurship, serta IPB dan University of Newcastle untuk kerjasama program Master Degree Bidang Studi Kelautan Tropis.

Sementara itu, Universitas Binus dan Sheffield University juga akan bekerjasama untuk bidang Social Entrepreneurship Course, UII Yogyakarta dan University of Essex untuk kerjasama pelatihan singkat tentang Global Entrepreneurship and Business Management, Islam dan Perspektif Internasional, UGM dan Oxford University untuk programme Agama dan Isu-isu Kontemporer dalam Perspektif Antar-Agama, Universitas Trisakti dan Sheffield Hallam University untuk kerjasama program master bidang Spesialisasi dalam Kewirausahaan Sosial, UPH dan Middlesex University untuk Pelatihan Singkat Desain Kerajinan Keramik, ITS dan University of Newcasttle untuk program Master bidang Teknologi Sederhana Kerajinan Keramik, UMM dan School of African and Oriental Studies (SOAS) untuk Twinning Programme Diploma Bidang Hubungan Internasional.

Selain itu, dalam kesempatan yang sama ini, British Council juga memberikan pendanaan khusus kepada dua institusi pendidikan kejuruan, yaitu STP Bandung dan Politeknik Negeri Bandung. Atas pemberian dana itu, STP Bandung akan bekerjasama dengan Leeds Metropolitan University untuk bidang Master of International Tourism and Hospitality Management. Sementara Politeknik Negeri Bandung dan Brookland College akan melakukan kerjasama program di bidang Teknisi Perawatan Pesawat Udara.

Read More......

Subjektifitas yang Objektif

30 Mar 2010


Objektifitas membawa makna yang dalam, namun juga membingungkan. Seolah menjadi mitos tetapi juga membawa bias. Disebut benar jika objektif. Dalam hal apapun, termasuk dalam dunia media massa (jurnalisme). Media massa, kata kode etik, harus objekif. Tetapi apakah itu objektif? Bisakah jurnalis atau penulis bersikap objektif?

Objektifitas sejatinya merupakan gagasan ideal tentang ukuran pasti atas realitas. Para jurnalis dinilai objektif, ketika mereka bias menghadirkan fakta apa adanya, tanpa opini. Berkembanglah jurnalisme objektif –sering juga disebut jurnalisme fakta, yang bertolak pada landasan kejujuran, netralitas dan akurasi. Jurnalisme fakta mengharamkan interpretasi.


Sebagai sebuag ideology, jurnalisme objektif ini mendasarkan pada pandangan empiris atas dunia, yang memisahkan antara fakta dan nilai, dan percaya bahwa eksistensi fakta sebagai wujud yang terpisah (independen) dari diri jurnalis. Berita adalah fakta yang ada ‘di luar sana’ yang menunggu dicari dan dituli, serta kemuadian di publishkan oleh media.

Tetapi, bisakah fakta dipisahkan dari nilai? Tidak mungkin, kata Stepen Ward, professor etika jurnalisme. Karena, semua pengetahuan, bahkan termasuk data-data sains tidak bisa menjadi bebas nilai. Bahkan gagasan ini, menurutnya, sesungguhnya merupakan penipuan, karena seorang jurnalis tak lain adalah ‘aktor-aktor’ yang pasti memiliki bias dalam laporannya. Tidak saja bias karena faktor personal (ideology, pengalaman) tapi juga karena tekanan eksternal.

Objektifitas menjadi bias ketika menjadi selubung ketidakpedulian pada kebenaran. Justru ketika mereka mengatasnamakan kebenaran. Maka, sejujurnya kita sulit mengerti tentang slogan salah satu media ‘Kebenaran itu tidak memihak’. Jurnalis merasa seolah-olah terbebas dari dosa, bahkan merasa mulia, setelah mematuhi kaidah pemberitaan berimbang, meliputi dua pihak yang berselisih tanpa mempedulikan kebenaran dari fakta yang disampaikan pihak-pihak tersebut. Jurnalis seolah lari dari tanggungjawab atas kebenaran fakta peristiwa, dengan dalih biarkan khalayak sendiri yang memaknainya.

Objektifitas pun bias ketika justru mengabaikan konteks dan substansi. Hutchin Commission, suatu kelompok penelitian di Amerika Serikat yang bekerja selama bertahun-tahun menghasilkan dokumen yang menggariskan kewajiban jurnalisme, memperingatkan adanya bahaya menerbitkan laporan yang “secara factual benar api secara substansial salah”. Komisi ini memberikan contoh, saat itu banyak berita seputar orang-orang minoritas yang justru menguatkan stereotype yang keliru, karena media gagal untuk menampilkan konteks atau menegaskan identitas ras atau etnisitas tanpa alas an yang tepat.

Era jurnalisme profesioanal telah menyuguhkan informasi berlimpah ruah, menembus batas-batas geografis, dengan standar konvensional yang dibanggakan. Tetapi kata Charlotte Dennet, ada satu hal yang seringkali dilupakan media arus utama, yakni ‘konteks’. Dalam peristiwa 9/11 misalnya, tentang mantan reporter Middle East Sketch itu, publik Amerika Serikat dibuat bingung di tengah melimpahnya informasi karena media arus utama tak menghadirkan konteks peristiwanya.

Objektifitas dalam jurnalisme tetaplah relevan, jika dimaknai sebagai komitmen profesionalisme, bukan sebagai wujud pengingkaran atas realitas keberpihakan media. Profesionalisme ini terkait dengan kepatuhan pada nilai-nilai dasar dalam proses jurnalisme seperti kejujuran dan akurasi. Di sini, objektifitas lebih menggambarkan kedisiplinan dalam proses mencari fakta. Sementara keberpihakan, kita artikan sebagai kebenaran oleh jurnalis.

Junalis tak cukup mengumpulkan dan merangkai fakta, tetapi juga harus memberikan makna. Tak hanya mengabarkan peristiwa, tetapi juga memberikan perspektif. Tak hanya menyusun alur cerita yang masuk akal dan mengalir, tetapi juga memberikan konteks sebuah persoalan.

Tak ada yang salah dengan subjektifitas, terutama jika dimaknai sebagai penegasan identitas. Journalis atau penulis akan lebih relevan keberadaannya jika mampu membuat terang sebuah masalah. Keberpihakan tak terhindarkan, bahkan harus, yakni pada nilai-nilai yang diyakini kebenarannya.

Tak ada realitas yang objektif. Karena, realitas sejatinya adalah apa yang kita yakini kebenarannya. Kitalah yang mendefinisikan peristiwa dan menilai seseorang. Maka biarkanlah berita subjektif secara perspektif, tetapi objektif dalam proses. Subjektifitas yang objektif. (Edi Santoso, pengasuh rubrik Wijhat Tarbawi)


Read More......

Renungan di Hari Film Nasional


Hari ini adalah Hari Film Nasional yang ketiga sejak ditetapkan pada 2008 lalu. Tanggal 30 Maret diambil menjadi hari film nasional berdasarkan hari pertama shooting film Darah dan Doa, yang merupakan film pertama karya anak bangsa.

Tulisan ini tidak hendak menilai film Darah dan Doa, apalagi mengajak untuk meramaikan hari film nasional. Sama sekali tidak. Tulisan ini hanya ingin mengajak kita merenung betapa film-film di negeri ini lebih banyak yang merusak alih-alih membawa nilai yang konstruktif bagi masyarakat.


Bagi Anda yang berlangganan surat kabar dan menyempatkan melihat iklan bioskop hari ini, Anda akan mendapati judul-judul Te[Rekam], The Sexy City, Dendam Pocong Mupeng, dan lain-lain. Perfilman nasional masih didominasi oleh dua genre seperti itu; horor dan porno. Sebuah perusahaan film bahkan pernah merencanakan mengundang bintang porno Jepang sebagai aktris dalam filmnya. Meskipun dibatalkan karena dikecam oleh banyak umat Islam dan para ulama, toh mereka tetap meluncurkan film Suster Keramas.

Tentu saja film-film demikian berdampak negatif bagi masa depan negeri ini. Negeri dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Negeri yang diharapkan oleh ulama sekaliber Yusuf Qardhawi, menjadi basis kebangkitan Islam. Bukankah kebanyakan penonton bioskop adalah para pemuda dan para remaja? Jika mereka dibius dengan film-film seperti itu niscaya mental dan moralitasnya cenderung negatif.

Bukan berarti dakwah yang mencita-citakan tegaknya masyarakat Islami anti film dan bioskop. Seperti jawaban Anis Matta ketika ditanya oleh mahasiswa Kalimantan: kalau Negara dikelola dengan cara Islam, apakah bioskop-bioskop akan ditutup? “Oh, tidak”, jawab Anis Matta, “Kita bikin bioskop yang lebih besar dari sekarang” Bedanya: “Film yang Anda tonton berbeda.” Tambahnya lagi: “Pas waktu shalat semua tutup.”

Sesungguhnya, film yang “berbeda” itu sudah pernah dibuktikan. Ia juga memiliki nilai jual. Bahkan sampai membuat masyarakat antri untuk mendapatkan tiketnya. Ketika Cinta Bertasbih, misalnya. Film islami yang diangkat dari novel karya Habiburrahman El-Sirazy ini juga membuktikan bahwa masyarakat kita sebenarnya merindukan film-film berkualitas yang menyejukkan hati; selaras dengan fitrahnya. Meskipun tidak seislami novelnya, Ayat-ayat Cinta juga mencatatkan prestasi tersendiri. Pun dengan film-film inspiratif seperti Laskar Pelangi, Garuda di Dadaku, dan King. Ternyata, perfilman kita juga mampu –sebenarnya- membuat film-film laris tanpa aroma pornografi. Apalagi film Sang Murabbi yang sangat menyentuh dan memotivasi para aktifis dakwah di negeri ini.

Jika film-film tipe kedua ini yang terus dikembangkan bersamaan dengan minimalisasi film-film tipe pertama (syukur-syukur jika sampai tahap eliminasi), niscaya perfilman nasional bukan hanya berkualitas tetapi juga konstruktif membangun kemajuan negeri dan turut memperbaiki umat ini. Film bisa menjadi sarana dakwah modern karena efektifitas film dibanding sarana lain. Seperti dinyatakan pakar komunikasi bahwa satu jam film lebih berpengaruh daripada satu pekan ceramah. [Muchlisin]

Read More......

Pengorbanan Luar Biasa Mereka Yang Cinta Buku Dan Ilmu

29 Mar 2010


Ulama besar itu sedang jatuh sakit. Parah. Seluruh tubuhnya terasa payah. Persendiannya ngilu dan tulang-tulangnya kaku. Dia hanya bisa tergolek di atas tempat tidur, tak kuasa bergerak dan beranjak sedikit pun dari sana. Namun kondisinya yang sangat lemah itu, tak juga menyurutkan semangatnya untuk terus berbagi ilmu, membaca dan menelaah buku-buku, serta berdisukusi dengan murid-muridnya.

Dokter yang didatangkan untuk mengobatinya, pun begitu prihatin melihat keadaannya. Setelah memeriksanya, dokter itu berkata, “Aktifitas Anda yang banyak membaca dan berdisukusi tentang ilmu, telah membuat sakit Anda semakin berat.”


“Tapi, aku tidak bisa bersabar untuk melakukan itu. Akan aku buktikan sesuai dengan ilmu Anda. Bukankah jiwa itu jika bisa merasakan kebahagiaan, ketenangan dan kenyamanan, maka perasaan itu akan mampu menyembuhkannya dari penyakit?” kilahnya dengan nafas sedikit tersengal.
“Tentu,” jawab sang dokter singkat.
“Jiwaku akan merasa senang jika ia bisa berinteraksi dengan ilmu,” tambahnya memberi alasan.

Tak brp lama, dengan tetap menuruti kata hatinya untuk terus membaca, ulama besar itu pun kembali sehat seperti sedia kala. Dia mengobati sakitnya dengan membaca. Melihat keadaannya yang membaik, dokter yang pernah merawat dan menasehatinya, hanya bisa berkata, “Ini di luar terapi yang biasa kami berikan.”

Ulama besar tersebut tak lain adalah Ibnu Taimiyah; sosok yang semasa hidupnya sangat lekat dengan kesederhanaan, kemiskinan, dan penjara, tetapi tetap ceria dan selalu bersahaja. “Aku tidak pernah melihat orang yang lebih merasakan kenikmatan hidup dari pada Ibnu Taimiyah. Meskipun hidupnya dalam kesederhanaan, kemiskinan, tahanan dan di bawah ancaman, tetapi ia adalah orang yang paling lapang dadanya, sehingga wajahnya selalu terlihat berseri-seri,” tutur salah seorang muridnya, Ibnu Qayim Al-Jauziyah, menceritakan tentang pribadinya.

Sederhana dan bersahaja mungkin sebuah sikap yang memang sangat lekat pada diri seorang Ibnu Taimiyah. Tetapi yang lebih menarik dari sekadar itu, adalah semangat keilmuannya yang tinggi. Semangat telaah dan bacanya yang hebat, yang mampu meringankannya dari rasa sakit yang menimpanya. Sejak kecil semangat itu telah ada, dan tak pernah menyusut karena terpengaruh oleh kenikmatan-kenikmatan duniawi. Dia tak pernah merasakan makanan enak dan lezat, dan hanya memakan apa adanya baik di pagi hari maupun malam hari. Dia juga tak pernah surut meski harus bersua dengan beragam cobaan dan siksaan. Ia hanya sibuk membaca dan mendalami banyak macam ilmu. Ia rajin belajar, menulis dan meriwayatkan hadits sehingga ia mampu menghimpun hadits-hadits yang tak dimiliki orang lain. Selain belajar, ia juga menyebarkan ilmunya. Ia mengajarkan hadits di beberapa daerah seperti Damaskus, Mesir dan Iskandaria. Meski di daerah-daerah itu ia menghadapi bermacam siksaan dan cobaan. Bahkan ketika di Damaskus lah, ia sempat ditahan dua kali hingga akhirnya wafat di sana tahun 728 H, di dalam penjara.

Ibnu Taimiyah seolah tenggelam dalam ilmu. Karena ilmu ia kemudian tidak menikah. Dan karena ilmu; semangatnya menelaah dan menulis, ia mampu menghasilkan lebih dari 500 jilid buku dari sekitar 350 judul, yang menyebar di mana-mana. Cintanya pada ilmu dan buku, lebih kuat dari cinta kita pada apapun yang sangat kita sukai. Dan mungkin dialah contoh yang ingindigambarkan Ibnu Qayim dalam sebuah ungkapannya, “Adapun para pecinta ilmu, mereka lebih terpesona dengan ilmu melebihi terpesonanya seorang laki-laki kepada kekasihnya. Dan kebanyakan diantara mereka tidak pernah disibukkan oleh seseorang (yang dicintainya) seperti mereka disibukkan dengan imu.”

Ibnu Rajab pun memuji sikapnya yang memilih membujang dari pada menikah. Dia berkata, “Inilah dampak positif dari membujang, yang akan terus bermanfaat bagi para penuntut ilmu dan para ulama sepanjang masa. Betapa banyak hasil karyanya yang tersebar di seluruh dunia Islam sejak zamannya hingga hari kiamat nanti, Insya Allah.”

Kecintaan pada ilmu dan sarana-sarananya; membaca, menulis, dan membelanjakan harta demi buku, adalah tradisi ulama kita yang telah ada sejak dulu. Mereka adalah orang-orang yang tak pernah puas dengan ilmu, dan tak pernah bosan untuk menimbanya. Salah seorang murid Ibnu taimiyah, Al-Hafidz Ibnu Abdul Hadi, pernah berkata, “Jiwaku tidak pernah kenyang dengan ilmu, tidak pernah puas dengan membaca, tidak pernah bosan dengan kesibukan itu, dan tak penrah letih untuk terus menelaah dan mencari.”

Mereka, ketika bertemu dengan sebuah buku yang belum pernah mereka baca, seakan menemukan harta karun yang berharga. Ibnul Jauzi pernah bercerita tentang dirinya, “Aku menceritakan keadaanku, aku tidak pernah kenyang membaca buku. Jika aku mendapati sebuah buku yang belum kubaca, aku seakan menemukan sebuah harta karun yang sangat berharga.”

Suatu saat, dia juga pernah mengatakan, “Aku telah menyaksikan deretan kitab-kitab di Madrasah Nizhamiyah. Ternyata, kitab-kitab yang terpajang di sana mencapai 6 ribu jilid buku, diantaranya ada kitab-kitab Abu Hanifah, kitab-kitab Al-Humaidi, ada kitab-kitab dari guru kami Abdul Wahab bin Nashir, kitab-kitab Abu Muhammad Al Khasyib, dan banyak lagi yang lain, dan aku merasa bahwa sudah pernah membacanya. Kalau boleh aku katakan, sungguh aku telah membaca lebih dari 20 ribu jilid, tetapi aku masih terus mencari.”

Ulama kita adalah orang yang sangat mencintai buku, dan penuh semangat membacanya. Buku adalah barang mahal bagi mereka, yang selalu harus ada dan tersedia, dengan cara apapun mereka mendapatkannya. Muhammad bin Ya’kub Al-Fairuz Abadi, misalnya. Setiap kali bepergian ia selalu membawa bukunya. Ia selalu membaca dan berpikir. Terdorong oleh kecintaan yang begitu kuat, ia pernah membeli buku dengan emas seharga 50 dinar.

Sedang Al-Jahizh, salah seorang sastrawan ternama, setiap kali mendapatkan buku ia selalu membacanya dari awal hingga akhir. Ia sangat mencintai buku. Ia bahkan menyewa toko-toko buku dan menginap di sana untuk menelaah.

Ada lagi Abul ‘Ala Al-Hamadzani. Ketika kitab-kitab Ibnul Jawaliqi dilelang di kota Baghdad, saat itu ia turut hadir. Penjual menawarkan satu paket dengan harga 60 dinar. Abul ‘Ala pun membelinya dengan menangguhkan pembayaran hingga hari Kamis berikutnya. Tenyata, selang waktu itu dia gunakan untuk kembali ke kampung halamannya. Di sana ia jual rumah miliknya dengan harga 60 dinar untuk membayar harga buku tersebut. Kisah Abul ‘Ala sangat mirip dengan kisah Ibnu Najar yang menggadaikan rumahnya seharga 500 dinar untuk digunakan membeli buku.

Mereka melakukan itu, tentu karena mereka memandang bahwa buku dan ilmu itu jauh lebih berharga dari apa mereka keluarkan. Mereka lebih mencintai tumpukan buku dari pada tumpukan harta. Merekalah yang dikatakan Al-Jahiz dalam sebuah ungkapannya, “Orang yang kehabisan nafkah dan harta benda yang dia keluarkan untuk mendapatkan buku yang dia inginkan, lebih dia sukai dari pada membeli seorang budak perempuan yang cantik, memperturutkan syahwatnya membuat bangunan mewah, maka dia tak akan mendapatkan ilmu yang memberi kepuasan, dan harta yang diinfakkannya tak akan bermanfaat untuknya sampai dia mengutamakan membelanjakannya untuk buku-buku, seperti seorang badui yang lebih memprioritaskan susu kudanya untuk keluarganya, atau sampai mengharapkan sesuatu dari ilmunya seperti seorang badui yang mengharpkan sesuatu dari kudanya.”

Para pecinta ilmu selalu menemukan kepuasan dalam bacaan-bacaan mereka. Jiwa mereka terasa ringan dan dada mereka terasa lapang, manakala bertemu buku dan punya kesempatan untuk membacannya.

Salman Al-Hambali, salah seorang guru Ibnu Hajar Al-Asqalani, mengatakan, “Tidur siang yang engkau tinggalkan untuk bisa membaca buku, yang tidak mendatangkan harta untukmu, maka katakanlah, “Biarkan aku (melakukan ini), semoga ku dapat menemukan buku yang bisa menunjukkan kepadaku bagaimana aku mendapatkan buku (catatan amal)ku dengan aman dan dengan tangan kanan.”

Seorang syaikh pernah berkata, “Aku ingat, suatu kali aku membeli buku di kota Riyadh setelah itu aku berjalan ke arah timur. Tapi rasanya aku tak dapat meneruskan perjalananku karena ketertarikanku yang sangat pada buku itu. tidak ada yang bisa kulakukan kecuali berhenti di jalan lalu buku itu aku baca hingga selesai seluruhnya, setelah itu barulah perjalanan aku lanjutkan.”

Dengan membaca buku mereka merasa memiliki semangat untuk terus hidup. Membaca adalah sarana menyambung nafas untuk mempertahankan eksistensi diri mereka. Sangat benar apa yang dikatakan seorang diantara mereka, “bacalah, agar engkau bisa hidup.”

Inilah potensi besar yang sebenarnya pernah ada dalam tubuh umat ini. Dulu, umat ini pernah berjaya oleh karena kecintaan mereka yang kuat terhadap ilmu. Budaya membaca dan menuntut ilmu di kalangan para ulama sangat menakjubkan. Mereka sudah bisa berdiri dengan tegak dengan segenap cahaya, saat umat lainnya masih diliputi kegelapan. Potret kehidupan mereka perlu menjadi teladan untuk kehidupan kita masa kini; mengorbankan harta u. ditukar dengan buku dan ilmu pengetahuan.

Membaca adalah kata yang menunjukkan permulaan wahyu, dan penanda lahirnya kenabian pada diri Rasulullah SAW yang menjadi penerang bagi manusia dan segenap alam. Membaca adalah titik balik paling fundamental pada perubahan sejarah kemanusiaan dari kekufuran dan kesesatan mereka, meunju cahaya iman, tauhid dan hidayah; juga dari tradisi suram kepada nilai-nilai moral, akhlak dan etika; dari kebutaan hati kepada penglihatan yang berdasarkan iman. Para pendahulu kita sangat memahami itu, dan karena itulah mereka terus membaca dan tak pernah bosan melakukannya. Mereka memiliki tradisi itu dalam kehidupan mereka dan berusaha mewariskannya kepada generasi setelah mereka.

Namun tampaknya, tradisi yang baik itu kini seakan tidak terlalu mendapatkan perhatian. Bukan hanya oleh orang-orang awam, tetapi kita dan mereka yang hidupnya sangat dekat sarana-sarana ilmu dan profesi-profesi keilmuan, juga tak terlalu mempedulikan buku, dan membacanya. Seorang syaikh berkata, “Kalau kita perhatikan para mahasiswa kita hari ini, mereka terlihat jarang membaca. Padahal sesungguhnya mereka baru memulai belajar. Aneh. Sungguh aneh. Mereka seperti merasa telah memiliki banyak ilmu. Padahal Ibnu Jauzi menasehatkan, ‘Hal yang paling baik adalah berbekal dengan ilmu. Siapa yang merasa cukup dengan ilmu yang dia miliki dan puas dengannya sehingga tidak mau mendengar pendapat orang lain, kemudian terlalu membesarkan dirinya, maka dia akan terhalang dari memperoleh manfaat. Dengan terus membaca dan belajar, akan tampaklah kesalahannya.’”

Seringkali, setelah kita menyelesaikan satu jenjang pendidikan, terkadang ada bisikan dalam hati yang mengatakan bahwa kita telah melewati fase belajar, dan karena itu tak perlu lagi membaca. Kita bahkan kerap merasa diri sudah cukup berilmu. Kita lupa, atau sengaja melupakan keadaan ulama kita dalam berinteraksi dengan ilmu, yang tidak pernah berhenti hingga ajal menjemputnya.

Ada kemalasan yang sering muncul karena kita tak menemukan kenikmatan dalam membaca. Membaca tidak menyentuh jiwa kita, sebagaimana dirasakan para ulama, di mana bagi mereka membaca adalah alat pemuas jiwa.

Secara umum, mungkin kita memang sangat jarang membaca. Tradisi keilmuan kita sangat jauh berbeda dengan para pendahulu kita; salafusshalih dan pengikut mereka. Tetapi tidak berarti bahwa semua kita benar-benar menjauhi buku. Di tengah-tengah kita, masih banyak orang-orang yang dengan kebersahajaan dan kesederhanaannya tak pernah lepas dari buku. Selalu rajin membaca, kapan pun dan dimana saja. [Sulthan Hadi, sumber: Majalah Tarbawi edisi 224]

Read More......

Dokumentasi Mukernas Permasisel II Edisi 1

Mukernas Permasisel 27-28 Maret 2010 di PPPPTKBahasa Jakarta Selatan











Read More......

Mukernas FORMASISEL “Menuju Kemenangan Dakwah di Sumatra Bagian Selatan”


Ketua Umum Forum Mahasiswa Sumatra Bagian Selatan (Formasisel) Ahmad Setiabudi, Sabtu, 27 Maret 2010, membuka Musyawarah Kerja Nasional yang ke II di PPPPTK JakSel. mukernas ini berlangsung dua hari 27-28 Maret 2010.

Mukernas diikuti sekitar 100 orang dari lima Korda (Jambi, Sumatra Selatan, Bengkulu, Bagka Belitung, dan Lampung).


Mulai tanggal 28 maret 2010 maka Formasisel diganti namanya menjadi Permasissel ( Persatuan Mahasiswa Islam SumBagsel )

Semoga bisa memberikan kontribusi yang produktif dalam membangun daerah.

Read More......
 
 
 

KUNJUNGAN

free counters
Powered By Blogger

detiknews - detiknews

JARINGAN

 
Copyright © KAMUS BABEL