Menggapai Khairu Mataa’id Dunya


merawat rumahnya seindah surga…
hiaskan qona’ah di taman hatinya…
sejuk kalbunya sebening kaca…
tundukkan pandang, takutkan Rabb-Nya…

Wahai saudariku….
siapakah yang tidak tersipu-sipu mendengar bait-bait syair di atas, seorang muslimah akan tertunduk malu jika kata-kata itu diucapkan kepadanya. Itulah gambaran wanita sholihah, gelar tertinggi yang diraih seorang wanita. Dalam sebuah hadits riwayat Imam Muslim disebutkan “Dunia adalah perhiasan dan sebaik-baik perhiasannya adalah wanita sholihah (mar’atus sholihah)”.

Wanita adalah makhluk ciptaan Allah. Secantik apapun dia, selembut apapun dia, semahir apapun dia, seperti apapun dia, ia tetap seorang hamba. Hanya seorang hamba yang Allah jadikan sebagai pendamping bagi manusia pertama yang diciptakan. Beban tugaspun dilimpahkan, konsekuensi yang timbul tidaklah sedikit dan tak mudah.


Ada janji dengan segala puji ditebar Sang Pencipta. Lewat perantara wahyu dan lisan shodiq utusan-Nya. Satu harap para wanita menjadi muslimah dan mentaati apa yang Allah dan Rasul-Nya titahkan. “Mar’atus Sholihah” mahligai a’laa lilmuslimah. Perhiasan terindah di atas dunia. Salah satu pilar Kejayaan Dienul Islam.

LANGKAH-LANGKAH MENJADI MAR’ATUS SHOLIHAH

Wahai saudariku…..
maukah engkau kuberitahu, bagaimanakah kita mencapai derajat mar’atus sholihah itu? Kita dapat mengetahuinya dari Al-Qur’an dan Sunnah Rasul-Nya.

Langkah Awal : Menjadi Amatullah (Hamba Allah)

Tugas hamba terhadap Rabbnya adalah menyembah-Nya tanpa tandingan lain.

“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku” (Al-Quran Al-Karim Surah Adz-Dzariyat [51] : ayat ke 56)

Dengan bekal ketaqwaan yang lahir dari pergolakan ruh dan jalan panjang tafakkur (memikirkan), tadabbur (memperhatikan), dan nadhor (melihat) dalam tugas ini, seorang hamba (insya Allah) mampu menciptakan manusia yang hidup bertanggung jawab dengan sesungguhnya penjadian diri “al-muttaqi”. Berani menentang pandangan, sifat dan ansir yang menyimpang untuk menyalakan kekuatan baru. Melepaskan diri dari ikatan yang dapat mengakibatkan jiwa lapuk dan lemah.

Sayyid Qutb rahimahullah berkata, “Inilah bekal dan persiapan perjalanan…bekal ketaqwaan yang selalu menggugah hati dan membuatnya selalu terjaga, waspada, hati-hati, serta selalu dalam konsentrasi penuh… bekal cahaya yang menerawang liku-liku perjalanan sepanjang mata memandang. Orang bertaqwa tidak akan tertipu oleh bayangan semu yang menghalangi pandangannya yang jelas dan benar… itulah bekal penghapus segala kesalahan, bekal yang menjanjikan kedamaian dan ketentraman, bekal yang membawa harapan atas karunia Allah, di saat bekal-bekal lain sudah sirna dan semua amal tak lagi berguna…” (Tarbiyah Ruhiyah, DR. Abdullah Nashih ‘Ulwan).

Seorang hamba tidak patut menuruti hawa nafsunya sendiri, mematuhi manusia sebagai alternatif dari Tuhan, taklid buta terhadap tradisi, praktik, kepercayaan dan gagasan, ritus dan upacara masyarakat serta menganggapnya lebih tinggi daripada ajaran Tuhan. Karena hal tersebut bila dilaksanakan hanya akan mengantarkan kepada kesesatan yang nyata fid dunya wal akhiroh. Na’udzu billahi min dzaalik.

“Ketahuilah bahwa sesungguhnya mereka hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka (belaka). Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikitpun. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (Al-Quran Al-Karim Surah Al-Qashash [28] : ayat 50)

“Hai orang-orang yang beriman, jika kamu bertaqwa kepada allah, niscaya Dia akan memberikan kepadamu furqaan dan mengahapuskan kesalahan-kesalahan dan mengampuni (dosa-dosa)mu. Dan Allah mempunyai karunia yang besar.”(Al-Quran Al-Karim Surah Al-Anfaal [8] : ayat 29)

Langkah Kedua : Menjadi Zaujah Sholihah (Istri Sholihah)

diringkaskan cirri khas seorang istri yang baik ialah :
1. Sholihah, melaksanakan perintah dan hak Rabb-Nya.
2. Muthii’ah qoonitah, taat pada suami selama tidak mengundang murka Ilahi..
3. Muhaafadzoh, menjaga dirinya dan harta suami bila ia pergi.

“maka wanita yang sholihah ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada..” (Al-Quran Al-Karim Surah Al-Nisa’ [4] : ayat 34)

Menyenangkan bila dipandang, menjauhkan suami dari rasa marah dan tak akan menolak bila ia “ingin”.

Dalam tahap inilah seorang amatullah menghadapi batasan baru. Ia tidak lagi bias menjalani hidup keseharian dengan sesuka hatinya, ia tak lagi dapat shaum nafilah (puasa sunnah) tanpa izin, ia tak bisa pergi tanpa persetujuan, ia harus tampak bahagia walau hatinya gelisah, ia harus tetap prima walau tubuhnya lelah, ia harus dapat menyesuaikan diri dalam situasi dan kondisi yang rasanya mustahil sekalipun, ketaatannya diuji hingga untuk hal yang tidak dia sukai (selama tidak melanggar Al-Quran dan As-Sunnah)

Dari lini ini realita yang ada kadang (bahkan sering) tak sejalan dengan idealisme yang dimiliki. Ilmu yang didapatkan selama ini menuntut amal nyata. Sikap individualis hanya akan menghancurkan citranya dan cita-citanya sebagai zaujah sholihah. Ujian? Ya! Mengharap ridha Allah dan suami adalah tugas seorang istri.

Bersabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam,

“Bagi seorang wanita, sholat fardhunya yang lima, puasa wajibnya sebulan, ia menjaga kehormatannya, mentaati suaminya, maka ucapkanlah bagi mereka : “masuklah kamu ke syurga lewat pintu-pintunya yang kamu suka” (Ibnu Hibban, Shohih al-Jami’).

Langkah Ketiga : Menjadi Ummu Sholihah (Ibu Sholihah)

Tanggung jawab besar selanjutnya hadir seiring hadirnya buah hati tersayang. Tanggung jawab yang tak mungkin dilimpahkan. Menjadi madrosatul ula (sekolah pertama), guru dari segala guru.

Setelah terlahir, seorang anak mempunyai hak untuk diaqiqahi, dipotong rambutnya, diberi nama yang baik, disusui selama 2 tahun, dikhitan. Setelah itu (orang tua khususnya ibu) harus memberikan kasih sayang yang diperlukan anak, membiasakan anak berdisiplin sejak dini, memberi teladan yang baik sejak awal.

Sampai di sini tugas belum selesai. Mengenalkan kalimat syahadat, mengajarkan Al-Qur’an, hukum halal dan haram, teladan Rasulullah dan para sahabat, hak dan kewajban orang tua, juga menjadi tugas utama. (disarikan dari Buku “Al Wajiiz Fii Tarbiyyah”, Yusuf Muhammad Al-Hasan)

Pendek kata ibu, dan ibulah yang menjadi tumpu harap seorang anak amanah Allah.

Ketika membaca teori mendidik anak rasanya sangat mudah, penerapannya? Tak semudah yang tertulis. Setiap anak mebawa watak yang berbeda, masalah yang berbeda, kebiasaan yang berbeda, maka mengatasinya pun berbeda-beda. Di sinilah membutuhkan lebih dari sekedar ilmu. Wal hasil ilmu tanpa amal bagai pohon tidak berbuah. Keikhlasan, kesunggguhan, kesabaran, dan engharap ridho Allah sebagai penolong adalah pegangan mengarungi ujian lanjut ini.

Tidak ada kata mudah tugas ini. Repot, dan tidak ada lagi ruang senyap (kecuali sedang tidur). Hari-hari yang berlalu kemudian, adalah sebuah tanda tanya bagaimana kita harus menata waktu, untuk Allah, suami, anak-anak, demi mencapai tujuan yang diharapkan sesuai dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Langkah keempat : Menjadi “Udhwu Al-Jama’ah Al-Qowiyah” (anggota jama’ah yang kuat

Jama’ah secara literer diartikan dengan “sejumlah besar manusia atau sekelompok manusia yang berhimpun untuk mencapai tujuan yang sama. (Al-Mu’jamu wasith 1/136)

Maka maksud dari “menjadi anggota jama’ah yang kuat” adalah kita ikut pada sekelompok masyarakat yang memiliki kesamaan visi dan misi yang paling (mendekati) sesuai dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Cara ini sebagai media interaksi kita terhadap lingkungan dan kepedulian kita terhadap sesama.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda,

“Barangsiapa bangun tidur sedang dia tidak memikirkan nasib kaum muslimin, maka dia bukanlah dari golongan muslim.” Maka, “sampaikanlah apa yang didapatkan dariku (Rasulullah Shallallahu‘alaihi wa Sallam) walau satu ayat.” (Al-Hadits)

Kita hidup bermasyarakat, dari sanalah timbul tuntutan untuk mengenal lingkungan. beragam sifat, sikap, cakap, dan faham membuat hidup ini rame rasanya. Bagi seorang muslimah ladang da’wah terbentang di sana. Jangan sampai merugi karena sesungguhnya manusia benar-benar merugi kecuali :

Mereka yang beriman
Mereka yang beramal shalih
Mereka yang nasihat-menasihati dengan sabar dan pada yang haq
Maka tak mungkin kita hidup sendiri.
Akhir Menjadi Mar’ah Sholihah (Wanita Sholihah)

Ammatullah, zaujah sholihah, ummu sholihah, menjadi bagian dari sebuah komunitas, adalah empat tahap uji sebelum menggapai mar’ah sholihah. Ketika keempat langkah di atas telah terlampaui hasilnya tetap tercetak beda antara satu dengan yang lainnya. Paling tidak ada beberapa kriteria dapat diamati. Sebagaiman firman Allah dalam Surah al-Faathir (Surah ke 35) ayat 32.

“…..di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri dan di antara mereka ada yang pertengahan, dan di antara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar.”

Wallahu a’lam bishshowab wa ‘afwu minkum

Maaraji’ :
Al-Wajiiz Fit Tarbiyah, Yusuf Muhammad Al-Hasan
Ath thoriq ilaa jamaa’atil muslimiin, Hussain bin Muhammad bin ali Jabir MA
Kaifa Takuuniina Zaujatan Shoolihatan, Ad-Dar Ibnul Mubarok.
Lima Tahap Mar’ah Sholihah, kajian bersama Ustadz Yusuf Irianto
Tarbiyah Ruhiyah, Dr.Abdullah Nashih ‘Ulwan.

sumber : Foswat's weblog

1 comments:

Kamus Babel said...

Sebuah peran yang harus diperankan sebaik-baiknya karena tak pernah mungkin diperankan orang lain selain seorang muslimah.., "be the best muslimah"..., Selamat buat muslimah karena Allah mencintaimu dengan segala amanah yang istimewa... ^_^

Post a Comment

 
 
 

KUNJUNGAN

free counters
Powered By Blogger

detiknews - detiknews

JARINGAN

 
Copyright © KAMUS BABEL