Rehumanisasi (Aktivis) Masjid

Pikiran Rakyat , 8 September 2006

Oleh ADRIANO RUSFI, Psi.

Ada sebuah kerinduan ketika membayangkan Masjid Sang Nabi, nun di Madinah sana lima belas abad silam. Membayangkan ulah seorang Badui lugu yang tiba-tiba nyelonong masuk masjid lalu buang hajat di sebuah sudutnya. Membayangkan ulah sejumlah sahabat yang berhamburan keluar masjid demi seorang pedagang yang menjajakan dagangannya, persis ketika Rasulullah saw sedang khotbah Jumat. Membayangkan seorang Muhajir yang bersandar di dinding masjid sambil menyenandungkan syair rindunya akan tanah Mekah yang telah lama ditinggalkan. Membayangkan sebuah rindu tentang masjid yang begitu manusiawinya.


Masjid itu memang manusiawi. Ia tegak di atas sebidang tanah yang dipilih oleh seekor unta, dibangun dari bahan-bahan yang sepenuhnya berasal dari bumi, dan dikerjakan oleh kebersamaan nan egaliter dari tangan-tangan yang rendah hati. Lalu, ketika tiba saatnya umat diseru untuk memasukinya, maka musyawarah memutuskan untuk menggunakan suara manusia, bukan oleh terompet, lonceng atau genderang. Suara merdu azan dari bibir Bilal bin Rabah itupun mengajak, bukan memaksa : hayya 'ala-shshalah.

Kemanusiawian dan keterbukaannya memang pernah berbuah tragedi, ketika Khalifah Umar bin Khaththab dibunuh oleh seorang budak Yahudi tatkala sujud di dalamnya. Tapi itu adalah harga dari sebuah kemanusiaan dan keterbukaan.

Dan ketika lamunan itu usai, yang tersisa adalah kekinian yang bercerita
tentang masjid-masjid yang megah, anggun dan suci, namun sunyi. Pagarnya tinggi-tinggi dan berlapis. Lapis yang pertama memagarinya dari najis. Lapis yang kedua memagarinya dari dosa. Sedangkan lapis yang ketiga memagarinya dari bising. Isinya terdiri dari pengurus, aktivis, malaikat, dan sesekali adalah orang yang menumpang salat. Kebanyakan isinya memang lebih mirip penumpang tinimbang penghuni, karena kebanyakan memang tak merasa memilikinya.

Konon malaikat pun mulai enggan memasukinya, karena keberadaannya semakin kurang bermakna dari hari ke hari. Mereka memikul titah Rabbani untuk mencatat ibadah dan mendoakan hamba-hamba- Nya. Namun para hamba semakin sedikit atau semakin sebentar berkunjung. Tampak hamba-hamba yang seperti tak betah berlama-lama di dalamnya. Sebagian karena gelisah melihat sang marbot mulai menutup pintu dan jendela, sedangkan sebagian lagi karena gerah melihat daftar etika di sana-sini. Tinggallah para malaikat yang nelangsa, karena mereka lebih banyak menganggur daripada mencatat dan mendoakan.

Di luar sana, ada manusia-manusia yang memandangnya penuh kagum. Masjid yang begitu tinggi hingga tak terjangkau, begitu dekat namun tak tersentuh, begitu agung hingga tak terbeli. Keberadaannya hari ini telah membuat manusia-manusia yang di dekatnya menjadi rendah diri dan merasa tak pantas bersahabat dengannya. Para pendosa sesekali berhasrat untuk menyentuh mihrabnya sambil tersungkur dalam sedu-sedan penyesalan, namun segera menarik niat sambil tersenyum kecut sepenuh malu begitu membaca sejumput aksara di pagar virtualnya, "Pendosa dilarang masuk!"

Masjid itu kini seperti sebatang kara. Lebih mirip mercusuar yang tegak
anggun di sebuah pulau karang sunyi tinimbang sebuah rumah manusia. Masjid itu kini gagap dengan berita-berita zaman, karena tak ada lagi jamaah yang menyampaikan cerita hingga larut malam sambil terkekeh-kekeh, karena terkekeh-kekeh hanyalah pantas di warung kopi dan tak pantas di sebuah masjid. Masjid itu kini lebih banyak limbung harus bersikap dan berbuat apa, karena data tak cukup untuk ambil sikap dan jemaah tak cukup untuk bertindak. Fatwa-fatwanya semakin sulit dimengerti dan ceritanya hanya dari itu ke itu juga.

Dalam sunyi, sang masjid akhirnya memilih untuk diam dan menjadi penonton peristiwa dan sejarah yang lalu-lalang din pintunya. Tirani berlangsung dan ia diam. Korupsi merebak dan ia diam. Reformasi bergejolak dan ia diam. Hutan dibabat dan ia diam. Gempa dan tsunami meluluhlantakkan dan ia diam. Musibah melanda dan ia diam. Pernah ia coba berkomentar, namun jemaah diam. Karena jemaah telah tertidur dalam kebingungan dan kebosanan. Karena jemaah terlanjur memasuki masjid sambil membaca doa mau tidur : Bismika Allahumma ahya wa bismika amuut.

Ada apa masjidku?

Bukankah aktivisnya semakin banyak dan militan, sedangkan program-programnya semakin marak dan beragam? Kenapa ia kesepian dalam gegap gempitanya zikir, istigasah, tablig dan nasyid-nasyid? Telah begitu banyaknya ia mengubah orang baik menjadi bertambah baik, tapi kenapa ia begitu kesulitan mengubah orang jahat menjadi orang baik? Kenapa ia begitu fasih berbicara tentang iman, namun terbata berbicara tentang fitrah? Apakah di masjidku hanya ada ayat-ayat madaniyah yang berkisah tentang iman, lalu telah hilang ayat-ayat makkiyah yang bercerita tentang insan?

Kini tampaknya ia tak lagi menjadi rumah manusia yang terbuka dan
mengucapkan salam selamat datang kepada seluruh pelantun syahadatain, bahkan kepada seluruh Bani Adam. Pelayannya didominasi oleh kaum nahi mungkar yang minim amar makruf, steril namun tak cukup imun mengatasi virus dunia, berani mati namun agak diragukan nyalinya untuk hidup. Jendelanya yang begitu normatif semakin menjauhinya dengan umat kebanyakan yang masih saja berpijak di bumi. Program-programnya dirancang lewat sebuah pertanyaan, "Apa maunya langit?". Sambil mengabaikan gairah-gairah kebumian. Ia selalu saja bertanya tentang apa yang dapat diberikan umat kepadanya, tanpa pernah bertanya apa yang diberikan masjid kepada umat, lingkungan dan kemanusiaan.

Maka, mari kita kembalikan masjid kepada kita. Karena, nun di sana ada
pendosa-pendosa yang ingin merebahkan hatinya di lantai sajadah. Di depan pintu ada pemuda-pemuda yang agak kumuh namun masih punya energi raksasa untuk mengibarkan panji-panji Islam. Mari kita tegakkan masjid di bumi realita, agar keluar dari mulutnya fatwa-fatwa langit yang dipicu oleh asbabun-nuzul aktualita, agar ia bisa berbicara fasih tentang sampah, tentang polusi, tentang konservasi, tentang gempa, tentang banjir bandang atau tentang korupsi.

Mari kita damaikan masjid dengan kekinian, agar ia mampu menjadi jembatan antara syariah yang absolut dengan hidup yang bergerak. Agar para aktivisnya tak melulu cemas dan memasang kuda-kuda menghadapi kenyataan. Mari kita damaikan masjid dengan dunia, karena hanya di atas kedamaian itu akan berdamai pula jemaahnya dengan kehidupan, dengan sunnatullah dan dengan fitrah. Agar tak ada lagi pertarungan yang tak perlu antara norma dan naluri. Agar tak ada permusuhan lagi antara aku dan nurani. Agar tak terjadi lagi paranoid dan histeria atas nama agama, agar jiwa menjadi tenteram.

"Wahai jiwa yang tenteram, kembalilah kepada Rabb-mu dalam rida dan diridai. Dan masuklah ke dalam golongan hamba-hamba- Ku. Dan masuklah ke dalam surga-Ku".** *

Penulis, pernah aktif di salah satu pergerakan Islam, konsultan pengembangan SDM, tinggal di Bekasi.

0 comments:

Post a Comment

 
 
 

KUNJUNGAN

free counters
Powered By Blogger

detiknews - detiknews

JARINGAN

 
Copyright © KAMUS BABEL