Subjektifitas yang Objektif


Objektifitas membawa makna yang dalam, namun juga membingungkan. Seolah menjadi mitos tetapi juga membawa bias. Disebut benar jika objektif. Dalam hal apapun, termasuk dalam dunia media massa (jurnalisme). Media massa, kata kode etik, harus objekif. Tetapi apakah itu objektif? Bisakah jurnalis atau penulis bersikap objektif?

Objektifitas sejatinya merupakan gagasan ideal tentang ukuran pasti atas realitas. Para jurnalis dinilai objektif, ketika mereka bias menghadirkan fakta apa adanya, tanpa opini. Berkembanglah jurnalisme objektif –sering juga disebut jurnalisme fakta, yang bertolak pada landasan kejujuran, netralitas dan akurasi. Jurnalisme fakta mengharamkan interpretasi.


Sebagai sebuag ideology, jurnalisme objektif ini mendasarkan pada pandangan empiris atas dunia, yang memisahkan antara fakta dan nilai, dan percaya bahwa eksistensi fakta sebagai wujud yang terpisah (independen) dari diri jurnalis. Berita adalah fakta yang ada ‘di luar sana’ yang menunggu dicari dan dituli, serta kemuadian di publishkan oleh media.

Tetapi, bisakah fakta dipisahkan dari nilai? Tidak mungkin, kata Stepen Ward, professor etika jurnalisme. Karena, semua pengetahuan, bahkan termasuk data-data sains tidak bisa menjadi bebas nilai. Bahkan gagasan ini, menurutnya, sesungguhnya merupakan penipuan, karena seorang jurnalis tak lain adalah ‘aktor-aktor’ yang pasti memiliki bias dalam laporannya. Tidak saja bias karena faktor personal (ideology, pengalaman) tapi juga karena tekanan eksternal.

Objektifitas menjadi bias ketika menjadi selubung ketidakpedulian pada kebenaran. Justru ketika mereka mengatasnamakan kebenaran. Maka, sejujurnya kita sulit mengerti tentang slogan salah satu media ‘Kebenaran itu tidak memihak’. Jurnalis merasa seolah-olah terbebas dari dosa, bahkan merasa mulia, setelah mematuhi kaidah pemberitaan berimbang, meliputi dua pihak yang berselisih tanpa mempedulikan kebenaran dari fakta yang disampaikan pihak-pihak tersebut. Jurnalis seolah lari dari tanggungjawab atas kebenaran fakta peristiwa, dengan dalih biarkan khalayak sendiri yang memaknainya.

Objektifitas pun bias ketika justru mengabaikan konteks dan substansi. Hutchin Commission, suatu kelompok penelitian di Amerika Serikat yang bekerja selama bertahun-tahun menghasilkan dokumen yang menggariskan kewajiban jurnalisme, memperingatkan adanya bahaya menerbitkan laporan yang “secara factual benar api secara substansial salah”. Komisi ini memberikan contoh, saat itu banyak berita seputar orang-orang minoritas yang justru menguatkan stereotype yang keliru, karena media gagal untuk menampilkan konteks atau menegaskan identitas ras atau etnisitas tanpa alas an yang tepat.

Era jurnalisme profesioanal telah menyuguhkan informasi berlimpah ruah, menembus batas-batas geografis, dengan standar konvensional yang dibanggakan. Tetapi kata Charlotte Dennet, ada satu hal yang seringkali dilupakan media arus utama, yakni ‘konteks’. Dalam peristiwa 9/11 misalnya, tentang mantan reporter Middle East Sketch itu, publik Amerika Serikat dibuat bingung di tengah melimpahnya informasi karena media arus utama tak menghadirkan konteks peristiwanya.

Objektifitas dalam jurnalisme tetaplah relevan, jika dimaknai sebagai komitmen profesionalisme, bukan sebagai wujud pengingkaran atas realitas keberpihakan media. Profesionalisme ini terkait dengan kepatuhan pada nilai-nilai dasar dalam proses jurnalisme seperti kejujuran dan akurasi. Di sini, objektifitas lebih menggambarkan kedisiplinan dalam proses mencari fakta. Sementara keberpihakan, kita artikan sebagai kebenaran oleh jurnalis.

Junalis tak cukup mengumpulkan dan merangkai fakta, tetapi juga harus memberikan makna. Tak hanya mengabarkan peristiwa, tetapi juga memberikan perspektif. Tak hanya menyusun alur cerita yang masuk akal dan mengalir, tetapi juga memberikan konteks sebuah persoalan.

Tak ada yang salah dengan subjektifitas, terutama jika dimaknai sebagai penegasan identitas. Journalis atau penulis akan lebih relevan keberadaannya jika mampu membuat terang sebuah masalah. Keberpihakan tak terhindarkan, bahkan harus, yakni pada nilai-nilai yang diyakini kebenarannya.

Tak ada realitas yang objektif. Karena, realitas sejatinya adalah apa yang kita yakini kebenarannya. Kitalah yang mendefinisikan peristiwa dan menilai seseorang. Maka biarkanlah berita subjektif secara perspektif, tetapi objektif dalam proses. Subjektifitas yang objektif. (Edi Santoso, pengasuh rubrik Wijhat Tarbawi)


0 comments:

Post a Comment

 
 
 

KUNJUNGAN

free counters
Powered By Blogger

detiknews - detiknews

JARINGAN

 
Copyright © KAMUS BABEL