Bidadari Kecil Itu Tak Pernah Sendiri


Author: Abu Aufa

Matanya bulat, cantik dan jernih seolah tak berdosa. Tawanya pun selalu lepas, sehingga menambah keceriaan
di wajah. Usianya memang telah dewasa, namun ia berprilaku bagaikan balita yang polos dan tak banyak meminta. Kelembutan yang terpancar dari jiwa, juga telah menghapus kesempatannya untuk berbuat nakal dan dosa.

Ia adikku, Dian namanya. Limpahan karunia Allah
Subhanahu wa Ta'ala, menjadikan dirinya ditakdirkan
terlahir dengan keterbelakangan mental. Chromosome 15
Trisomy Syndrome yang diderita membuatnya bagaikan
seorang kanak-kanak. Namun, tak pernah sekalipun ia
terlihat menyesali nasibnya.



Dian memang anak istimewa. Selain cacat mental,
menjelang akhir hayatnya ia juga menderita sakit
ginjal, diabetes, kelainan jantung, lalu lumpuh dan
bisu. Bahkan beberapa hari sebelum maut menjemput,
kebutaan pun merampas penglihatannya. Tangis ketakutan
yang kekanak-kanakan, akan membuat siapapun yang
mendengar giris hatinya.

"Ma... ma... aku takut, gelap ma. Mama di sini sama
aku ya ma," terdengar rengekannya yang pernah membuat
air mata mamaku tumpah.
Beliau lalu mengajak Dian berdzikir dan membaca
do'a-do'a.

Apa yang diderita Dian pernah membuatku dan
saudara-saudara yang lain berburuk sangka kepada-Nya,
"Ya Allah, mengapa Engkau timpakan penderitaan sepedih
ini kepada adik kami?" Pertanyaan itu sering kali
menyeruak, dan bertubi-tubi menghujani hati ini.

Kami pun pernah sedih karena memikirkan Dian yang tak
pernah hidup normal seperti layaknya
saudara-saudaranya yang lain. Tumbuh dewasa, menikah,
lantas merasakan kebahagiaan berumah tangga. Namun,
bukankah Allah Yang Maha Pencipta tentu lebih tahu
segalanya. Mungkin IA hanya tersenyum bijaksana,
menatap kesalahpahaman kami semua.

Dian memang cacat fisik dan mental, tapi tidak
hatinya. Tubuh yang penuh tutulan obat merah dan
perban karena koreng bernanah, bahkan sebagian
hidupnya yang harus dijalani dengan kursi roda, tak
mampu menutupi keistimewaan yang ada pada dirinya.

Suatu peristiwa saat ia berusia 5 tahun, menampilkan
sosok jiwanya yang begitu lembut. Ia tak pernah tega
walaupun terhadap semut-semut yang mengerubungi piring
nasinya. Ia hanya menjerit-jerit, "Ma... nyamut,
nyamut ma!" karena saat itu ia tidak bisa membedakan
antara nyamuk dan semut.

Lalu aku yang saat itu mendengar tergopoh-gopoh
menghampirinya, "Jangan menangis Dian, ini kan cuma
semut. Pukul saja, ntar juga semutnya pergi." Lalu
kuusir semut-semut itu, dengan tepukan tangan di
lantai teras depan rumah kami.

Allah Yang Maha Pengasih memang sangat mencintai Dian.
Betapa tidak?
Kelahirannya disambut dengan penuh kebahagiaan, dan
kematiannya di usia 30 tahun adalah peristiwa terindah
yang pernah kudengar.

Ketika itu, menjelang malaikat maut hendak menjemput,
mamaku meminta Dian untuk selalu mengingat Allah
Subhanahu wa Ta'ala sambil membelai-belai lembut
kepalanya, "Dian, nyebut ya sayang, ya Allah... gitu
nak. Ya Allah... Allahu Akbar!"
Lalu mama membaca surah Yaa siin di pinggir tempat
tidur, sedangkan bapak melakukan sholat Ashar, tak
jauh dari sisi tempat tidur Dian.

Lidah Dian mulai sulit bergerak. Namun orangtuaku
dengan tabah berusaha membimbingnya mengucapkan
"Allahu Akbar, ya Allah."
Hingga suatu saat, ketika mama membisikkan kalimat
itu, Dian menggenggam tangannya dengan kuat dan
bergumam lirih, "Aaaaaahhhhhh..."

Air bening pun bergulir dari sudut mata Dian yang
telah buta. Mungkin sebagai isyarat permintaan maaf,
dan mohon kerelaan karena ia sebentar lagi akan
berpulang kepada Sang Pencipta.

"Pulanglah Dian ke haribaan Allah..." kata mama dengan
tabah di sela isakan tangisan. Lalu dengan tenang Dian
meninggalkan kami semua dengan hembusan nafas
terakhirnya.

Di saat penguburan, mama mengecup telapak tangannya
sendiri kemudian melambai ke pusara Dian.
"Selamat jalan, bidadari kecilku. Tunggu mama di sana
ya, nak," katanya seraya menatap lubang peristirahatan
terakhir Dian yang mulai ditutupi tanah merah oleh
para sanak saudara dan sahabat.

Adikku Dian memang benar-benar anak istimewa, bahkan
teristimewa di antara saudara-saudaranya. Karena itu
Allah Subhanahu wa Ta'ala pun mengirim bapak untuk
pulang menyertai Dian, tak lama setelah kepergiannya.
Mungkin sebagai jawaban kepada bapak yang memang
selalu merindukan anak istimewanya.

Sekarang bidadari kecil kami tak perlu takut
sendirian, karena bapak telah berada di sana untuk
menemaninya.

Dian, adikku tersayang...
Jangan takut untuk kembali kepada Allah ya sayang.
Engkau tahu, engkau tak sendirian. Mama pun selalu
berkata, engkau tak akan pernah sendirian, karena do'a
dan segenap cinta kami selalu bersama dirimu, adikku
tercinta.

Kembali kepada Allah adalah sesuatu yang indah. Bahkan
teramat indah dari apa yang mungkin pernah engkau
bayangkan.
Selamat jalan sayang, selamat tinggal adikku yang
teristimewa. Engkau memang bidadari kecil yang tak
pernah sendirian.

WaLlahua'lam bi shawab.

0 comments:

Post a Comment

 
 
 

KUNJUNGAN

free counters
Powered By Blogger

detiknews - detiknews

JARINGAN

 
Copyright © KAMUS BABEL