Membeli Syurga


Taken From : Parenting Islami

Hari ini aku kembali dalam sebuah perenungan panjang. Muhasabah dan perhentian sejenak. Saat aku mulai mencari sebuah inspirasi dari sebuah perjuangan. Saat aku kembali bertanya-tanya tentang amal dan keikhlasan. Dan saat aku mulai mengerti akan hakikat jihad amal yang tak sekedar jihad kata-kata.

Entah berapa banyak tanya yang kerap dilontarkan orang-orang terdekatku, sahabat-sahabatku, adik-adikku, teman seperjuangan, maupun orang-orang yang sekedar mengenalku selintas dalam kehidupannya. Tentang pernikahan. Tentang menyempurnakan bulan sabitku menjadi bulan purnama. Tentang sebuah ikatan…. Subhanallah.
Berbagai argumen dan motivator menjadi bumbu dalam setiap percakapan yang ada denganku untuk menyegerakan sebuah kebaikan. Hingga ide-ide konyol, kalau tak mau disebut nekad. Masya Allah…, hingga seperti itukah??


Dulu bagiku, pernikahan hanyalah omong kosong orang dewasa, mereka menikah namun kemudian saling menyakiti. Hingga yang terdoktrin dalam benakku, tak ada laki-laki yang baik dalam kehidupan ini. Semua hanya kepalsuan dan permainan… Mungkin karena lingkungan mengajarkanku seperti itu. Menikah hanyalah main-main dan keindahan semu layaknya film India. Namun kini, ada sebuah paradigma baru dalam kehidupanku saat aku mulai mengenal Islam dan mencoba mengerti tentang sebuah pernikahan… Dan visi yang diusungnya.
Meski teramat berat untuk menghancurkan segala energi negatif dari benakku tentang sebuah pernikahan aku mencoba berbagi tentang sebuah perenungan, tentang membeli jannah.

Sungguh aku ingin berbagi cita tentang menjadi istri da’i. Tentang kisah Ummul Mukminin Khadijah, dan teladannya menjadi istri Rasulullah yang mendukung setiap aktivitas da’wah Rasulullah, dengan hatinya, dirinya, malnya dan segenap cintanya. Juga tentang Ummu Sulaim, dan segenap hikmah yang hadir dari keshalihannya. Dan tentang para mujahidah-mujahidah Afghanistan yang senantiasa mendorong suaminya untuk pergi berjihad. Kebanggaan yang hadir, kebahagian yang mencuat, dan gelora hamasah yang menggelora dari istri-istri mujahid-mujahid Palestina. Karena pernikahan dengan da’wah yang membawa cita yang tinggi ke angkasa, menjadi manusia-manusia langit. Menjadi syuhada. Sungguh, aku ingin seperti mereka, menjadi jalan kebaikan bagi suamiku tuk raih jannahNya. Tuk dibanggakan dihadapanNya. Maka yang kulakukan adalah dengan menyemai bibit kebaikan dalam pernikahanku kelak, agar pernikahan ini penuh berkah. Menjadi rumah yang dinaungi para malaikat. Bercahaya dengan Nur Al-Qur’an. Menjadi madrasah bagi jundi-jundi yang kelak hadir. (Tulisan ini kutulis dalam sebuah risalah pernikahan seorang sahabat).

Ya, akhirnya satu visi yang muncul dalam benakku adalah tentang menjadi seorang istri da’i. Karena nahnu du’at qobla kuli sya’i (kita adalah da’i sebelum yang lainnya). Idealisme yang terus kuperjuangkan untuk selalu hadir dalam diri ini. Yang menjadi landasan untuk menuju langkah selanjutnya.

Beberapa tahun kebelakang aku sempat menuliskan sebuah ikrar untuk menikahi da’wah sebelum pernikahan yang lainnya. Sengaja kupasang ikrar itu untuk senantiasa mengingatkanku tentang sebuah ikatan suci antara aku sebagai hamba dengan sang Khalik dalam da’wah Ilallah. Agar menjadi penguat kala aku lemah, agar jadi motivator untuk memberikan segala pelayanan terbaik untuk sang Kekasih. Kini aku kembali bertanya, benarkah janjiku? Benarkah pelayanan dan tadhiyahku disisiNya? Dan aku menemukan sebuah jawaban tentang buruknya kinerjaku, tentang amalan yang tak maksimal, dan tentang mahabbah yang dipertanyakan….Tentang cinta yang tak tulus dan pengorbanan yang setengah-setengah.

Maka aku kembali bertanya, jika aku tak bisa memberikan sebuah cinta terbaik bagiNya, maka mungkinkah aku memberikan cinta terbaik bagi hambaNya?

Blunder, bingung, inkubasi yang tak kunjung usai tentang berbagai pemikiran yang berkecambuk dalam benakku. Aku tak mengerti, hingga pada akhirnya sampai pada titik nol bahkan minus yang berujung pada perasaan ketidaklayakan. Bagiku, setiap orang berhak mendapatkan yang terbaik. Pasangan yang terbaik, dengan segala kelebihan yang bisa didapatkan. Sementara aku hanyalah gudang kekurangan. Masih banyak yang lebih baik, dan bukankah yang baik untuk yang baik. …Sungguh aku tidak menyukai saat eneg (energi negatif) memenuhi ruang pikirku. Karena aku tahu bila saat itu terjadi, betapa jauh jarakku dengan Rabbku.

Waktu, sahabat-sahabat, dan tentunya Allah dalam surat cintaNya kemudian menyadarkanku bahwa kelayakan adalah sesuatu yang harus diperjuangkan. Menjadi syuhuda disisiNya tak sekedar hanya dengan kematian dalam memperjuangkan dienNya, tapi lebih dari itu…dengan amalan yang benar, dan keikhlasan dalam mardotillahNya… Ya, jujur karena Allah. Karena seandainya berhias niat lain dalam kesyahidan, yang ada hanyalah amal sia-sia dan gelar yang diberikan manusia. Maka kelayakan adalah perjuangan, untuk melihat wajahNya dengan penuh kerinduan. Dan aku memulainya dari titik nol saat ini. Untuk mengejar dan memperjuangkan sebuah kelayakan meski dalam ketidak sempurnaan. Inilah Eposku (Energi Positifku) untuk terus memperbaiki segala kelemahan diri. Karena sungguh aku tak pantas memasuki jannahNya, namun aku tak sanggup bila harus memasuki nerakaNya.

Sahabat, tentang pernikahan adalah hal yang kerap jadi pembicaraan, meski dihiasi semburat pipi yang memerah, atau sekedar canda yang mengundang gelak tawa. Namun sesungguhnya pernikahan tidak sesimpel itu,meski tak pula sesulit yang dibayangkan. Karena bagiku menikah adalah sebuah perjalanan cahaya dan perjuangan visi serta cita-cita yang panjang. Menikah bagiku adalah membangun pondasi keimanan dan menapaki langkah-langkah menuju kejayaan Islam. Sungguh berada dalam kehangatan visi Islam adalah kebahagian dan anugerah yang terindah. Dan hidayah ini kan kupeluk erat hingga masa pertemuan denganNya. Insya Allah. Namun dalam perjalanannya meraih cita-cita dan istiqomah dalam kebaikan adalah perjuangan yang berat. Ada banyak godaan yang hadir, saat idealisme mulai dipertaruhkan dan menyisakan begitu banyak toleransi. (tulisan ini juga kutulis dalam sebuah blogspot tentang pernikahan)

Tak ada habisnya membicarakan tentang pernikahan. Namun sebagai seorang mukmin, bagiku pernikahan tidaklah bisa diumpamakan sebagai aliran sungai yang kita biarkan mengalir begitu saja, tanpa persiapan dan pemahaman maupun ilmu. Perencanaan, ilmu, MoU, dan grand design visi misi harus mulai dipersiapkan bahkan sebelum kita menuju pernikahan. Antum terlalu idealis, pada kenyataannya itu sulit. Namun hingga saatnya tiba aku akan hidup dengan idealisme itu. Benarkah Azzam??? Lantas apa saja perbekalan yang telah kamu persiapkan untuk jihad dan perjuangan itu ??


I. Membeli Syurga

Semua aktivitas adalah perjuangan dan jihad. Aku membrain washing benakku bahwa pernikahan adalah ladang jihad, tak sekedar angan-angan keindahan meski itu janjiNya. Maka segala perbekalan yang harus disiapkan adalah perbekalan seorang mujahid. Perbekalan menuju perang Badr. Ya, satu perbekalan yang harus terus disemai dan diperjuangankan…, yaitu keimanan. Bukankah, Allah telah membuktikan berapa banyak orang yang sedikit dapat mengalahkan yang banyak dengan bekal keimanan dan kestiqohan. Maka modal awal adalah dengan senantiasa memperbaharui keimanan dan ketaqwaan yang ada dalam diri kita. Karena cita-cita kita adalah mendapatkan kebaikan, maka yang harus kita persiapkan adalah selaksa kebaikan dalam diri kita.


Sahabat, perjuangan da’wah kita tak sekedar pada ujung cita-cita mendapatkan pasangan yang sholeh dan terbaik. Namun lebih dari itu, cita-cita yang jauh lebih besar. Yaitu kebangkitan Islam. Maka, janganlah hari-hari kita hanya terhanyut dalam keinginan, mimpi dan angan-angan semu. Tanpa mengesampingkan fitrah yang muncul dalam hati kita, kerinduan itu bolehlah hadir. Namun, jangan sampai kita dilenakan, karena amanah kita lebih banyak dari waktu yang tersedia. Jagalah senantiasa hati kita, untuk menisbatkan satu cinta hanya padaNya. Untuk memenuhi ruang fikir, aql dan ruh kita dengan selaksa tsiqohbillah. Dengan menggantungkan satu harapan hanya padaNya. Dan aku pun senantiasa mencoba memperjuangkan hal ini, meski berat terasa… Namun bukankah Dia begitu dekat. Tuk menguatkan punggung kita menanggung semua beban yang ada. Sungguh jihad amal lebih sulit dari jihad kata-kata, namun bukankah surga memang mahal…, dan kita akan terus memperjuangkannya.

Seperti orang asing demikian pula kita, berbekal ketsiqohan dan keimananan meski kerap dalam kebingungan. Ketika sampai di sebuah persimpangan… Persimpangan kehidupan yang benar-benar membutuhkan perenungan mendalam. Keputusan yang kita buat… Mengenai jalan mana yang harus di tempuh … Merupakan penentu arah kehidupan kita selanjutnya. Penentu keberhasilan cita-cita dan idealisme yang selama ini dibangun. Tentang pernikahan, tentang sebuah ikatan pertama yang kupersembahkan pada da’wah dan tentang selaksa cinta yang syar’i dan menenangkan.

Maka tentang pernikahan da’wah, akan jadi cerita panjang. Penuh onak, berliku, dan sedikit orang yang mau menapaki jalan ini. Menikah adalah menjadi kaya, dengan azzam, iltizam, hamasah, dan segenap jihad yang membara. Aku sudah pernah menikah, dengan da’wah ini. Juga tak keberatan dinomor duakan setelah da’wah ini. Ini adalah idealisme yang hadir hari ini, namun doakanlah agar idealisme ini yang terus hadir dalam hari-hari kedepan. Tuk terus memperbaiki niat, menyempurnakan amal untuk satu cinta mahabbatullah.

Maka doktrin hari ini adalah jihad memperbaiki diri, menyiapkan segala perbekalan untuk berjihad. Karena pernikahan yang kucari adalah perniagaan untuk membeli jannahNya. Menikah adalah kekuasaanNya (yang bisa jadi didunia ini ataupun kelak diakhiratNya), namun kepastian akan kematian bagi setiap insan adalah hakikat yang tak bisa terelakkan. Maka persiapkanlah segala perbekalan dan apa saja untuk jihad ini ( Q.S Al-anfal : 60 ).


II. Tsiqohbillah dan Satu Cinta

Perjalanan kehidupanku menorehkan berbagai hikmah yang kuambil dari sahabat-sahabatku. Dari berbagai kisah perjalanan yang ada, pencarian cinta, pencarian pasangan, hingga proses yang terjadi (baik gagal maupun berhasil). Satu hal pasti adalah tsiqohbillah.

Keyakinan pada Allah adalah keharusan dalam setiap langkah kita sebagai seorang muslim. Dan betapa aku masih harus sangat berjuang untuk memiliki tsiqoh ini dan merasakan manisnya iman…. Subhanallah. Evaluasi hari ini, membawaku pada kenyataan minimnya ketsiqohanku pada Rabbku, lemahnya azzamku dalam doa-doaku, dan tidak semangatnya ikhtiarku. Astagfirullah.

Sahabat, pada siapa kita menggantungkan harapan bila bukan pada Sang Pemilik Segalanya? Wasilah mendapatkan pasangan bisa dari mana saja, namun hakikat utamanya adalah saat roja (harap) kita hanya menjadi milikNya. Maka jangan kecewa bila ustadz kita, pembina kita, keluarga kita, sahabat-sahabat kita, atau bahkan orang kepercayaan kita belum mencarikan atau menemukan pasangan terbaik bagi kita. Jangan menggantungkan harapan pada manusia karena kau akan kecewa. Lucu terkadang, bercampur haru dan bahagia saat sahabat-sahabat kita dengan penuh semangat mencarikan seseorang yang dirasakan baik untuk kita. Hingga muncul satu pernyataan pipilih menang nulewih, koceplak menang nu pecak.. Bener ga ya nulisnya? (Azzam, jangan sampai terlalu memilih-milih hingga akhirnya bukan mendapat yang terbaik malah mendapat yang terburuk). Atau saat sebuah konspirasi untuk memberikan kebaikan bagiku, namun Allah jualah yang akan menentukan dengan kuasaNya. Jadi sahabat, jangan salah bergantung… Hehe…. Apalagi gelantungan di pohon. Gantungkan harapan besar dalam hati kita ini hanya padaNya. Mari berjihad tuk tsiqoh hanya padaNya…, karena cukuplah Allah semata… Dan betapa Ia Maha Tahu, segala kegelisahan yang berkecamuk dalam benak kita. Marilah…, siapkan senjata terbaik kita, doa dan doa, maka berdoalah…..

Sebagai seorang konsulen teori, aku faham banyak kelemahan yang ada dalam setiap pernyataanku. Ya, sekali lagi aku akan mengatakan jihad amal jauh lebih berat dari sekedar jihad kata-kata. Namun inilah hakikat jihad, tak mudah namun tak berarti kita tak mampu melakukannya. Insya Allah, berbekallah dengan sebaik-baiknya perbekalan, yaitu ketsiqohan pada Allah dalam lautan Ar RahmaanNya, RahiimNya…, dalam hari-hari takwa kita.

Jangan bersedih, saat proses kita tak berhasil, bisa jadi itu jawaban istikhoroh kita. Namun bersedihlah, jika kegagalan proses membuat kita kian jauh dariNya. Sungguh bukankah proses yang kita jalani semata untuk meraih cintaNya??? Sahabatku…, jadikan setiap proses yang antum jalani sebagai Epos untuk kian dekat denganNya, menghabiskan hari-hari dalam naungan lembaran-lembaran surat cintaNya, dan mentadrib (melatih diri) untuk pasrah, ikhlas dengan setiap keputusan terbaik dariNya.

Selalu ada hikmah… Namun setiap permasalahan yang hadir jangan sampai mengoyahkan kekuatan tsiqoh dalam diri kita. Honestly, aku belum bisa seperti ini, masih banyak kecenderungan yang bermain, pilihan-pilihan yang berkeliaran, atau harapan-harapan yang bermunculan. Namun sahabat marilah berjuang bersamaku tuk raih kekuatan ini… Tsiqohbillah, menikah dengan pilihan terbaikNya, dengan hamba terbaikNya dengan segenap kelebihan dan kekurangan yang dimilikinya…. Siapapun dia hatta orang yang tidak kita kenal maupun yang kita kenal. Insya Allah.

Doktrin kedua hari ini adalah tentang Tsiqohbillah dan satu cinta…. Mahabbatullah.

“ Ya Allah, aku bermohon kepadaMu segala macam kebaikan, perilaku yang baik, meninggalkan segala macam kemungkaran. Aku mohon cintaMu, menyintai mereka yang menyintaiMu, berilah taubat, ampunan dan rahmatMu. Dan jika Engkau berkehendak menguji suatu kaum pulangkanlah daku kepadaMu tanpa diuji.” ( HR. Tirmidzi dan Tabrani ) Salah satu doa kesukaanku.

Untuk sahabat-sahabat yang tengah menjalani proses, semoga diberikan keputusan terbaikNya. Dan untuk sahabat-sahabat yang masih terus mencari, marilah memperbaiki diri. Yakinlah selalu ada jalan, dan semoga kita berlomba-lomba membangun kapling di surga untuk memberikan kemudahan bagi orang-orang yang ingin menikah.

0 comments:

Post a Comment

 
 
 

KUNJUNGAN

free counters
Powered By Blogger

detiknews - detiknews

JARINGAN

 
Copyright © KAMUS BABEL